Jakarta, CNN Indonesia -- Novi Susanti siang itu terlihat asyik bercengkerama dengan sesama ibu rumah tangga warga RW 12 Kelurahan Manggarai Jakarta Selatan.Tak sedikitpun nampak raut kegelisahan di wajahnya.
Padahal, Minggu 9 April 2017 merupakan batas akhir waktu yang diberikan PT KAI (Persero) bagi Novi dan keluarganya untuk meninggalkan rumah yang ditempatinya hampir 30 tahun.
"Kalau saya terus-terusan sedih, dan kepikiran, lama-lama saya mati," canda Novi saat ditemui cnnindonesia.com di kawasan jalan Dr Sahardjo I Kelurahan Manggarai Kecamatan Tebet Jakarta Selatan, Sabtu (8/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Novi bersama warga RT 01 RW12 Kelurahan Manggarai tinggal di lahan yang diklaim sebagai milik PT KAI berdasarkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 47 Manggarai Tahun 1988 atas nama PJKA.
Anehnya, meski sudah mengantongi sertifikat lahan, PT KAI membiarkan warga Manggarai untuk tetap bermukim dan beranak pinak lahan tersebut. Pemerintah juga mendiamkan.
Tahun ini, demi kepentingan proyek penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Api Bandara Internasional Soekarno-Hatta dan Jalur Lingkar Jabodetabek, PT KAI harus melakukan penggusuran terhadap 11 bangunan seluas 1.150 meter persegi (m2), termasuk di dalamnya lahan tempat tinggal Novi.
Mengingat hal itu, ibu beranak satu ini mengeluhkan sikap sepihak PT KAI (Persero) yang ingin menggusur warga tanpa memberikan jaminan tempat tinggal dan penghidupan yang layak.
"Kasihan yang sudah tua-tua," keluhnya.
Berdasarkan kabar yang didengarnya, rumah tinggalnya hanya dihargai Rp250 ribu oleh perseroan.
Tak ayal, warga enggan angkat kaki. Surat Pemberitahuan PT KAI Nomor KA.203/V/3/DO.1-2017 tertanggal 5 April 2017 terkait permintaan pengosongan dan pembongkaran rumah tak digubris.
"Saya sudah kompak dengan warga, kalau itu (penggusuran) terjadi saya akan tidur di stasiun atau di depan KPK. Habis di mana lagi," ujarnya sambil memainkan sedotan di gelas minumannya.
Memang, pengetahuan Novi terbatas. Dia tak begitu paham mengenai aturan mengenai aturan sertifikat tanah. Yang ia tahu, dia sejak kecil telah tinggal di kawasan itu bersama keluarga besarnya yang terdiri dari orang tua, satu orang kakak, satu orang adik, satu orang keponakan, suami, dan anaknya.
"Tuh, anak saya lagi main sekarang," ujarnya.
Kepada Tuhan Novi menyerahkan warga Manggarai. Dia berdoa, semoga tim kuasa hukum warga Manggarai bisa mendapatkan jalan keluar yang terbaik.
"Saya menyerahkan kepada Allah saja karena rejeki itu ada di tangan Allah," pasrahnya.
Senior Manager Humas Daerah Operasi I KAI Suprapto menegaskan, lahan tempat hunian warga Manggarai yang akan digusur merupakan aset kekayaan negara. Artinya,warga memang tidak memiliki hak untuk tinggal.
Soeprapto berkisah, lahan tersebut tadinya merupakan milik pemerintah Hindia-Belanda yang akhirnya diserahkan kepada pemerintah Indonesia pada tahun 1959.
"Pemerintah Indonesia waktu itu membayar kepada pemerintah Hindia-Belanda. Tidak gratis," jelasnya.
Pada tahun 1980-an, secara bertahap sertifikat lahan kereta api atas nama Hindia-Belanda dinasionalkan, termasuk wilayah Manggarai.
Suprapto menyilakan warga RW12 Manggarai untuk membawa masalah penggusuran lahan ini ke jalur hukum.
"Kalau kurang puas, mereka [warga Manggarai] tunjukkan bukti kepemilikan mereka.Langsung ajukan ke pengadilan kalau mereka punya bukti-bukti kepemilikannya," ujarnya.
Terkait ganti rugi warga yang minim, Suprapto mengungkapkan perseroan bertanggungjawab untuk menjalan tata kelola perseroan yang baik (GCG). Dalam hal ini, perseroan harus mematuhi ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan Keputusan Direksi PT KAI Nomor Kep.U/JB.312/IV/11/KA-2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Penertiban Bangunan di Atas Aset Tanah PT KAI, perseroan hanya memberikan bantuan biaya/ dana kebutuhan bongkar dan ongkos angkut (pindah).
Untuk bangunan tembok (permanen) besarnya maksimal Rp250 ribu per meter persegi (m2). Sementara, untuk bangunan kayu (semi permanen), ganti ruginya mencapai Rp200 ribu per m2.