Penggusuran di Antara Pembangunan dan Pelanggaran HAM

CNN Indonesia
Minggu, 09 Apr 2017 09:35 WIB
Pembangunan DDT Manggarai-Bandara Soekarno Hatta membuat warga Manggarai harus siap hadapi gusur paksa dimana proses ini dianggap sebagai kejahatan HAM.
PBB anggap penggusuran paksa sebagai kejahatan HAM. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)
Jakarta, CNN Indonesia -- Warga RW 12 Manggarai, Jakarta Selatan mau tak mau harus siap menghadapi penggusuran yang dilakukan oleh PT Kereta Api Indoenesia (PT KAI). Penggusuran tersebut dilakukan oleh PT KAI sebagai upaya untuk membebaskan lahan yang rencananya akan dibangun double double track (DDT) Manggarai-Bandara Soekarno Hatta.

Warga Manggarai menilai PT KAI tidak transparan dalam hal anggaran pelaksanana, perizinan, master plan, amdal, serta penyusunan studi kelayakan biaya tanah secara keseluruhan. Mereka pun sudah mengadukan nasib mereka kepada pihak-pihak terkait mulai dari Komnas HAM, Ombudsman, bahkan hingga mengadu kepada Presiden Joko Widodo.

Pembangunan DDT Manggarai-Bandara Soekarno Hatta memang merupakan salah satu proyek strategi nasional PT KAI seperti yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan pada prinsipnya proses pembangunan infrastruktur dan penegakan hak asasi manusia (HAM) bisa berjalan beriringan. Menurutnya, penolakan terhadap relokasi atau penggusuran bukan berarti penolakan terhadap pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Pembangunan itu harus dengan partisipasi warga dan menjunjung tinggi hak asasi manusia,” kata Alghiffari saat dihubungi oleh CNNIndonesia.com, Sabtu (8/4).

Yang paling penting dalam proses relokasi atau penggusuran, partisipasi warga dan proses musyawarah dengan warga harus dilakukan dengan baik oleh pemerintah. Namun, hal itulah yang justru sering tidak dilakukan oleh pemerintah.

Penggusuran dengan paksaan, menurut Alghiffari justru akan menimbulkan kemiskinan struktural. Karena orang-orang yang lahannya dirampas justru akan terjebak dalam jurang kemiskinanan.

Alghiffari menyebut Indonesia seharusnya melihat kembali kovenan internasional hak ekonomi, sosial, dan budaya yang sudah disahkan menjadi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 oleh DPR dan pemerintah. Namun, nyatanya, selama ini proses relokasi maupun penggusuran yang dilakukan pemerintah tidak pernah mengacu pada kovenan tersebut sebagai bahan pertimbangan.

“PBB sudah menganggap penggusuran paksa sebagai kejahatan HAM yang serius,” ujaar Alghiffari.

Dikatakan sebagai kejahatan HAM serius karena dalam proses penggusuran terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan secara berlapis. Tak hanya perampasan hak atas tanah dan bangunannya, tetapi juga hak asasi kesehatan, hak asasi identitas, bahkan asasi pendidikannya.

Saat ini, kata Alghiffari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah memang sedang gencar melakukan proses pembangunan dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, pemerintah juga harus selalu memperhatikan dampak pembangunan tersebut.

Terkait dengan proses penggusuran, dalam perintah umum kovenan internasional hak ekonomi, sosial, dan budaya sudah ada arahan dalam pelaksanaannya yang tertuang dalam general command nomor 4 tentang hak atas tempat tinggal yang layak dan nomor 7 tentang hak atas tempat tinggal yang layak: pengusiran paksa.

Alghiffari juga mengatakan pemberian uang ganti rugi yang sesuai dengan nilai tanah atau rumah yang digusur sudah sesuai dengan prinsip HAM. Hal ini karena masalah ganti rugi sebenarnya tidak hanya soal ganti rugi secara fisik, tapi ada banyak hal yang harus diperhatikan dalam ganti rugi atas suatu penggusuruan.

Menurut Alghiffari, ada tujuh pertimbangan yang harus dijadikan pedoman dalam pemberian ganti rugi terhadap korban penggusuran, yaitu jaminan legalitas kepemilikan, ketersediaan akan berbagai layanan, keterjangkauan, layak huni, aksesbilitas, lokasi, dan juga kelayakan budaya.

“Nah ini (ganti rugi) pemerintah yang tidak penuhi secara hati-hati dan menganggap ketika kehilangan fisik tanah atau rumah, gantinya tanah atau rumah atau uang senilai itu. Masalahnya tidak sesederhana itu,” ujar Alghiffari.

LBH sendiri menyadari pemerintah, baik pusat maupun daerah ingin bergerak cepat dalam proses pembangunan infrastruktur, tetapi masyarakat juga seharusnya diajak untuk ikut terlibat dalam proses pembangunan tersebut.

Alghiffari menyebut keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan justru bisa memberikan dampak positif, misalnya bisa mengurangi biaya pemerintah untuk pembangunan, terutama biaya pemerintah untuk ganti rugi.

“Pendekatan (keterlibatan masyarakat) ini yang tidak pernah mau diambil oleh pemerintah, bahkan justru melibatkan TNI dalam proses penggusuran, itu yang lebih sadis lagi menurut saya,” katanya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER