Rembang, CNN Indonesia -- "Ketika mengecor kaki di depan Istana, kami bawa bekal dari rumah. Kami bawa beras. Kami dapat bayaran dari mana? Hanya dari Allah."
Pernyataan itu dituturkan Sukinah, perempuan yang lahir di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Rembang, Jawa Tengah, 41 tahun lalu. Ayah dan ibunya petani, begitu juga dengan kebanyakan sanak saudara dan tetangga.
Seperti mayoritas penduduk Tegaldowo, pendidikan Sukinah tidak tinggi. Ia hanya lulusan sekolah dasar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di pengujung dekade 1990-an, Sukinah sempat merantau ke Jepara. Ia juga pernah mengadu nasib ke Jakarta di awal milenium kedua.
Namun Sukinah merasa jalan hidup memanggilnya untuk pulang ke kampung: bertani.
"Kalau semua jadi pegawai, siapa yang menjadi petani?” tuturnya kepada CNNIndonesia.com, pekan lalu.
Sukinah lantas pulang ke Tegaldowo. Bersama sang suami, Jafar, ia membangun rumah sederhana berbahan dasar kayu di atas lahan keluarga. Serupa sebagian besar tempat tinggal warga Tegaldowo, rumah Sukinah berbentuk joglo.
Di rumahnya, Sukinah memiliki pekarangan untuk menjemur gabah dan jagung hasil pertanian. Awal April lalu, Sukinah dan Jafar baru saja selesai memanen sawah. Beberapa karung gabah terlihat di bagian tengah rumah yang beralas tanah.
 Warga Desa Tegaldowo mayoritas berprofesi sebagai petani dan peternak. Penghasilan utama lainnya adalah dari peternakan dan terutama sapi. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
"Hasil panen ini untuk makan sehari-hari. Sebagian jagung kami jual," ujar Sukinah.
Hidup memang bukan soal makan saja. Setiap Senin dan Kamis, Sukinah dan Jafar ke pasar untuk menjual pisang, ayam atau entok yang mereka pelihara.
Mereka menggunakan uang hasil penjualan untuk membeli kebutuhan rumah tangga lain, termasuk membayar tagihan listrik yang kerap biarpet.
Tiga tahun terakhir, Sukinah kerap berpergian ke luar Tegaldowo. Aktivitas itu terlihat dari poster dan sejumlah pigura foto yang ia gantung di ruang tengah rumahnya.
Satu dari sekian foto itu dipotret ketika Sukinah dan perwakilan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Jakarta, awal Agustus 2016.
Kala itu Sukinah duduk di tengah meja panjang, persis di hadapan Jokowi, Menteri Sekretaris Negera Pratikno, dan Juru Bicara Presiden Johan Budi Sapto Pribowo. Sukinah dan beberapa petani perempuan Pegunungan Kendeng diundang ke Istana setelah mengecor kaki dengan semen, aksi penolakan terhadap ekspansi PT Semen Indonesia (Persero) Tbk di kampung mereka.
Tegaldowo merupakan wilayah terdekat dengan lokasi penambangan batu gamping dan tanah liat PT Semen Indonesia. Rumah dan lahan pertanian milik Sukinah berjarak hanya sekitar 2 kilometer dari kawasan tambang yang disebut JMPPK berada di atas Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih.
Berdasarkan data izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi milik Dinas ESDM Pemprov Jawa Tengah per 29 Juni 2016, terdapat enam perusahaan yang hingga kini masih berhak menambang di Tegaldowo.
Selain PT Semen Indonesia, lima korporasi lainnya adalah PT Berkah Sari Bumi Rembang, PT Alfa Inti Mineral, PT Amir Hajar Kilsi, PT Wahyu Bumi Pertiwi, dan PT Paserindo Pratama Sejahtera.
Secara garis besar, enam perusahaan itu merupakan bagian dari 18 pemegang IUP operasi produksi di Rembang. Perusahaan lainnya kini masih berhak menambang di Kecamatan Sedan, Kajar, Sluke, Kragan, dan Sarang.
Merujuk survei terakhir yang digelar Badan Pusat Statistik Rembang, kegiatan penambangan yang masif di Rembang tidak linier dengan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi warga lokal.
Pada Agustus 2014, pertanian masih menjadi sektor penyumbang pekerjaan terbesar bagi penduduk setempat, yakni sebesar 49,25 persen. Perdagangan 17,8 persen, sektor lain-lain 14,21 persen, dan jasa 11,31 persen berada di peringkat berikutnya.
BPS mencatat, pada periode itu sektor industri adalah penyedia lapangan pekerjaan terkecil di Rembang, yakni 7,43 persen. Setahun berikutnya, hasil pemetaan serupa juga didapatkan BPS. Industri masih berada di peringkat buncit dengan angka 9,46 persen.
 Lokasi tambang PT Semen Indonesia di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Area perbukitan yang kaya batu gamping jenis terumbu. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Keberadaan tambang di Rembang juga tidak berbanding lurus dengan angka kemiskinan di Rembang. Kabupaten itu tercatat sebagai daerah termiskin kelima di Jawa Tengah pada tahun 2015. Sebanyak 119,11 ribu penduduk atau 19,28 persen warga Rembang hidup dalam kemiskinan atau berpenghasilan Rp314.596 per bulan.
Rembang berada di bawah Wonosobo, Kebumen, Brebes, dan Purbalingga. Merujuk data Dinas ESDM Jateng per Juni 2014, 11 IUP operasi produksi masih berlaku di Kebumen. Di Brebes terdapat lima perusahaan tambang, sementara di Purbalingga ada tiga usaha penambangan.
Sarji (45) dan Darni (41) tidak mengetahui data-data statistik tersebut. Namun pasangan suami-istri yang bekerja sebagai petani itu berkeras menolak PT Semen Indonesia masuk ke Tegaldowo.
Mereka merasa sejauh ini telah hidup sejahtera.
“Sebelum ada penambangan, hidup keluargaku sudah benar. Hasil pertanian cukup bagi kami. Kami juga punya ladang dan ternak,” kata Darni dalam bahasa Jawa halus.
Dari hasil bumi itu pula, Darni dan Sarji membiayai anak tunggalnya yang bernama Suasir (22) bersekolah di Pondok Pesantren Al-Irsyad Rembang.
Lahan pertanian di Tegaldowo tergolong tadah hujan. Darni mengatakan, aliran mata air dari Kendeng hanya dinikmati petani di desa yang secara geografis berada di bawah Tegaldowo.
Sekilas, bukit-bukit berbatu yang berjejer di Tegaldowo terlihat gersang. Namun tanaman jagung membentang di sekujur bukit itu, tumbuh dari sela-sela tanah yang didominasi batuan.
Darni, Sukinah, dan petani-petani Tegaldowo selalu memanen padi dan jagung setiap tahun. Mereka juga berinisiatif menanam palawija seperti cabai dan jahe di bawah pohon jagung.
Sukinah misalnya. Pada 2016 memanen sembilan ton jagung dari ladang seluas satu hektare. Tahun itu ia dan suaminya dua kali panen jagung. Jika harga 1 kilogram jagung setara Rp3.000, maka dalam sekali panen mereka meraup uang Rp27 juta.
Darni, warga Desa Tegaldowo yang keshariaannya berladang. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
“Tanah di desa ini subur karena ditanami apa saja. Kalau ada yang hidup kekurangan, mungkin mereka tidak sungguh-sungguh dalam bertani,” kata Sukinah.
Definisi kesejahteraan versi sebagian warga Tegaldowo memunculkan semangat perlawanan terhadap rencana penambangan PT Semen Indonesia. Mereka menolak tawaran bantuan dana dari perusahaan itu.
CNNIndonesia.com melihat setidaknya dua rumah berbahan batu bata sumbangan PT Semen Indonesia di Tegaldowo. Rumah seluas 4x6 meter persegi itu terdiri dari dua kamar dan satu kamar mandi yang sangat kecil.
Di tembok bagian depan rumah terpasang lambang PT Semen Indonesia, penanda bagian dari program tanggung jawab sosial perusahaan.
Sukani, warga Tegaldowo, merupakan salah satu penerima rumah beratap asbes itu. Ia bercerita, pada pertengahan 2016 kepala dusun memintanya mengumpulkan fotokopi kartu keluarga dan identitas. Belakangan ia baru mengetahui terpilih menerima bantuan dari Semen Indonesia.
Rumah itu berdiri dalam lima hari. Namun Sukani enggan tinggal di rumah hasil corporate responsibility yang berada persis di samping pekarangan kediamannya.
"Sempit sekali. Kalau tinggal di sini, saya tidak akan punya dapur," tuturnya.
Rumah joglo keluarga Sukani memang jauh lebih besar dari rumah sumbangan Semen Indonesia.
Selain rumah, Semen Indonesia juga menawarkan bantuan uang yang harus didahului pengajuan proposal. Sebuah embung juga mereka dirikan di Tegaldowo.
Namun hingga saat ini, bantuan-bantuan itu masih bertepuk sebelah tangan. Sukinah berkata, penolakan atas kehadiran PT Semen Indonesia tidak berkaitan dengan isu perusahaan pelat merah, swasta atau asing.
Sukinah yakin, bertambahnya aktivitas penambangan di Kendeng akan merusak karst dan debu-debu pecahan batu gamping akan memandulkan pertanian.
"Yang mendukung pabrik semen pasti bukan petani. Petani mendukung pabrik semen itu rasanya aneh, makan dari bumi kok malah mendukung yang akan merusak alam," ucapnya.