Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi III DPR kembali menskors Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi hingga pukul 19.00 WIB, Selasa (18/4). Penskorsan dilakukan lantaran batas waktu rapat dalam tatib DPR hanya sampai pukul 22.30 WIB dan ada sejumlah pertanyaan anggota Komisi III DPR yang belum dijawab oleh pimpinan KPK.
Berdasarkan pantauan
CNNIndonesia.com, RDP antara DPR dengan KPK kali ini lebih banyak fokus pada permintaan penjelasan permasalahan yang terjadi di internal KPK saat ini. Permintaan penjelasan atas permasalahan tersebut pertama kali diutarakan oleh pimpinan RDP, yakni Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman.
Politisi Demokrat itu menyatakan, ada permasalahan internal yang berdampak pada terhambatnya proses penanganan perkara yang masuk ke KPK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Supaya tidak ada spekulasi yang tidak ada ujung pangkalnya, maka sangat baik kalau pimpinan KPK menjelaskan secara terbuka," ujar Benny di ruang sidang Komisi III, Gedung DPR, Jakarta, Senin (17/4) malam.
Pertanyaan soal masalah internal juga dipertegas oleh Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo. Politisi Golkar itu mendesak, pimpinan KPK menjelaskan permasalahan apa yang terjadi di internal KPK. Ia berkata, berdasarkan informasi di media konflik internal terjadi antara penyidik KPK yang berasal dari Kepolisian dan non-Kepolisian.
"Ini harus dijawab. Penting untuk kami posisi yang sudah menjadi rahasia umum itu," ujar Bambang.
Menjawab pertanyaan tersebut, Ketua KPK Agus Rahadjo membenarkan, telah terjadi permasalahan di internal KPK antara penyidik dari Kepolisian dan non-Kepolisian. Meski demikian, ia menilai, permasalahan tersebut marupakan bentuk kepedulian anak buahnya atas perbaikan kinerja KPK ke depan.
Agus mengaku, seluruh pimpinan telah mempertemukan kedua belah pihak agar permasalahn tersebut bisa terselesaikan. Pasalnya, ia khawatir, hal tersebut bisa menggangu proses pencegahan dan penindakan yang dilakukan KPK.
"Saya melihatnya kalau ada pertentangan di dalam itu tujuannya menyayangi KPK. Oleh karena itu, kami pimpinan coba memberikan pengertian kedua pihak agar itu tidak terjadi," ujar Agus.
Untuk diketahui, konflik internal antara penyidik KPK yang berasal dari Kepolisian dan non-Kepolisian sempat terjadi beberapa waktu lalu. Konflik tersebut berujung pada pemberian Surat Peringatan (SP) 2 terhadap penyidik utama yang juga Ketua Wadah Pegawai Novel Baswedan.
Pemberian SP 2 dilatari atas tindakan Novel memprotes rekrutmen penyidik Polri yang dianggap menyalahi ketentuan tetap dilakukan. Ia tidak sepakat penyidik senior dari Polri berpangkat Ajun Komisaris Besar dan Komisaris Besar baru diangkat sebagai Kepala Satgas Penyidikan.
Menambah jawaban Agus, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif menuturkan, konflik internal di KPK bukan masalah serius. Menurutnya, perbedaan persepsi antar sesama pegawai di KPK umum terjadi di banyak instansi.
Ia membantah, informasi di sejumlah media yang menyebut Novel tidak suka dengan penyidik yang berasal dari Kepolisian. Pasalnya, saat ini anak buah Novel dalam Satgas diisi oleh sejumlah personel Kepolisian aktif.
"Tidak ada yang genting-genting sekali di KPK. Sekarang di bawahnya Satgas Mas Novel itu banyak polisi aktif dan itu bercampur. Jadi friksi-friksi kecil itu dimana-mana terjadi," ujar Laode.
Budaya Egaliter di KPK TinggiSementara itu, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menuturkan, budaya egaliter di KPK sangat tinggi sejak lembaga tersebut terbentuk. Ia mencontohkan, ada penyidik yang bisa mengatakan bahwa keberadaan dirinya yang baru beberapa bulan menjabat bisa dikritik oleh penyidik yang telah beberapa tahun berada di KPK.
"Egalitarian (di KPK) memang tinggi. Bahkan saya terbuka mengatakan ke media, saya salah ngomong saja bisa dikritik. ‘Pak Saut, ente baru beberapa bulan di sini, Saya sudah sepuluh tahun di sini’. Itu penyidik bisa bicara gitu," ujar Saut.
Saut menilai, budaya egaliter di KPK seolah dipelihara oleh segelintir penyidik. Ia menilai hal tersebut juga bisa menjadi positif karena menjadi kontrol dan penyeimbang terhadap kinerja pimpinan KPK.
"Egalitarian itu berlangsung sampai hari ini. Siapapun bisa dikritik di KPK," ujarnya.
Akan tetapi, Saut merasa kecewa lantaran budaya saling kritik tersebut keluar dari KPK, yakni soal kritikan dan pemberian SP 2 kepada Novel. Menurutnya, keluarnya informasi tersebut menyinggung integritas pimpinan KPK.
"Tapi ketika Novel mengkritik atasannya kemudian surat itu keluar, atasannya menjadi tersinggung karena menyinggung apa yang disebut dengan integritas yang bersangkutan," ujar Saut.
Salah satu hal yang dinilai menyinggung intgritas pimpinan KPK adalah soal beredarnya pernyataan mengenai masalah personal. Di tambah lagi, kata dia, hal tersebut beredar luas di media yang membuat permasalah internal KPK semakin rumit.
"Bapak bisa bayangkan seseorang datang ke Saya, Pak Saut bisa teliti Saya waktu ditugas di Kapolres (Polres). Saya beli susu anak saya saja tidak bisa. Dengan surat yang mengalir di luar ini Saya tidak bisa terima lagi. Bapak bisa bayangkan seperti itu," ujar Saut dengan nada tinggi.