Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menjamin tak ada penyalahgunaan penerapan Revisi Undang-undang Antiterorisme jika produk hukum tersebut telah disahkan. Menurutnya, revisi tersebut hanya akan digunakan untuk melawan gerakan teror dan radikal di Indonesia.
"Terorisme tak akan menunggu revisi undang-undang selesai. Ini harus segera diselesaikan dan undang-undang ini ditujukan untuk mengatasi terorisme. Kekhwatiran undang-undang ini disalahgunakan mudah-mudahan akan dihilangkan," kata Wiranto di kantornya, Jumat (26/5).
Bekas Ketua Umum Partai Hanura itu menyadari ada kecenderungan persinggungan antara langkah tegas penanganan terorisme dalam revisi UU Antiterorisme dengan konsep hak asasi manusia. Namun, ia berharap ada kesepahaman dalam memandang fungsi dan tujuan dipercepatnya pembahasan revisi tersebut.
Menurut Wiranto, penanganan masalah terorisme tak bisa berjalan maksimal sebelum revisi UU Antiterorisme selesai. Ia memandang revisi beleid tersebut sebagai hal yang mendesak diselesaikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Letaknya di sini bagaimana kita bisa membangun kebijakan dan pemahaman bersama bahwa langkah tegas untuk menanggulangi terorisme itu tak akan digunakan untuk hal-hal lain," tuturnya.
Jika revisi UU Antiterorisme telah selesai, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) akan mendapatkan tambahan kewenangan.
Ketua Pansus RUU Pemberantasan Terorisme Muhammad Syafii mengatakan, pembentukan dan kinerja BNPT selama ini didasarkan pada Peraturan Presiden 46/2010 dan yang telah diubah melalui Peraturan Presiden 12/2012.
Namun, kata Syafii, peraturan itu hanya memberikan fungsi koordinasi pada tingkat operasional kepada BNPT. Pihaknya ingin BNPT punya penguatan di level pengambilan kebijakan.
Pelibatan TNI dalam penanganan terorisme juga disebut akan terjadi jika revisi produk hukum itu dilakukan. Selama ini, penanganan aksi terorisme dilakukan oleh aparat kepolisian.
 Polisi melakukan olah TKP kejadian bom di Kampung Melayu, Jakarta Timur. (CNN Indonesia/Hesti Rika Pratiwi) |
Belum Selesai soal DefinisiPembahasan Revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih terkendala soal definisi terorisme.
"Hari ini definisi terorisme, belum selesai. Secara substansi sudah selesai, tapi ada beberapa definisi lain," ujar Wakil Ketua Pansus RUU Terorisme Supiyadin Ari Saputra saat dihubungi, Jumat (26/5).
Supiyadin menyatakan, semua fraksi baru menyepakati bahwa salah satu kriteria dalam definisi terorisme merupakan bagian dari ancaman terhadap keamanan negara. Sehingga, dalam hal ini peran TNI diperlukan.
Meski secara substansi sudah menemui titik temu, Supiyadin menyampaikan, definisi tentang terorisme akan diputuskan belakangan. Sebab, beberapa kriteria lain tentang definisi terorisme masih belum menemui kata sepakat.
"Secara umum sudah disetujui, tapi diputuskan belakangan. Karena kalau dibahas satu-satu, maka energi banyak yang habis. Karena itu dilewati dulu, lalu masuk pasal-pasal lain," kata dia.
Terkait permintaan Presiden Joko Widodo agar RUU Terorisme segera dirampungkan, Supiyadin mengatakan pansus akan membahas keinginan presiden tersebut pekan depan. Sebab, pada mulanya RUU Terorisme ditargetkan selesai pada tahun ini.
"Kami berhadapan dengan 10 fraksi yang punya pandangan masing-masing, karena itu akan kami lobi semua fraksi bagaimana penuhi keinginan Presiden," ujarnya.
Hingga kini, kata Supiyadin, Pansus RUU Terorisme sudah membahas sejumlah pasal. Di antaranya Pasal 25 yang mengatur ketentuan penuntutan dalam pengadilan, lalu tentang pencegahan melalui deteksi terhadap rapat-rapat gelap, hingga penyebaran ujaran atau video latihan-latihan militer di internet.
Supiyadin menjelaskan, konsep pencegahan yang dibahas dalam RUU Terorisme menggunakan pendekatan internal security act (ISA).
"Orang belum berbuat sudah bisa kami mintai keterangan, istilah kasarnya ditangkap proses penyelidikan. Misalnya, ada laporan rapat gelap tanggal sekian isinya tentang apa, lalu disertai dengan rekaman, lalu akan kami panggil. Itu bentuk pencegahan," ujarnya.
Secara garis besar, politikus NasDem itu menyebut RUU Antiterorisme akan mengandung tiga substansi besar yakni pencegahan, penindakan, dan rehabilitasi pascaaksi teror.
Sementara itu, dihubungi terpisah, anggota Pansus RUU Terorisme, Arsul Sani mengatakan sehari sebelum peristiwa bom Kampung Melayu, pihaknya telah menyepakati untuk mengintensifkan pembahasan daftar inventaris masalah (DIM) yang belum dibahas di masa sidang sebelumnya.
"Sampai akhir masa sidang lalu, Panja yang merupakan tim kecil Pansus RUU Terorisme telah membahas sekitar separuh DIM yang ada. Total DIM di RUU ini ada 112, namun sebagian bukan merupakan DIM yang substansial dan alot untuk dibahas," kata Arsul melalui pesan singkat.
Terhadap DIM yang telah dibahas, kata Arsul, terkait pasal-pasal yang menyangkut pidana material seperti perbuatan persiapan yang mengarah pada aktivitas atau aksi terorisme sudah disetujui.
Walaupun demikian, Arsul juga mengakui bahwa ada beberapa pasal yang belum disepakati salah satunya mengenai definisi terorisme. "Tentu juga ada satu-dua isu yang belum terumuskan dengan baik seperti definisi terorisme," ujarnya.
Selesai Tahun Ini
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon mengatakan revisi UU Antiterorisme akan selesai tahun ini. Meski masih ada kendala dalam membahas RUU tersebut. Karena, masih memerlukan pengkajian yang mendalam dan harus berhati-hati.
"Tapi memang harus diselesaikan, harus ada
deadline. Saya kira tahun ini," ujar Fadli di Gedung DPR, Jakarta.
Fadli juga mengingatkan agar nantinya UU Antiterorisme tidak menjadi alat politik kekuasaan untuk menangkap orang seenaknya.
Dia menilai, perlu ada pengawasan dan koordinasi dengan lembaga-lembaga yang sudah ada seperti BIN, BNPT, Kepolisian dan TNI.
Apalagi pendekatan yang digunakan untuk melakukan pencegahan menggunakan metode internal security act (ISA), seperti yang diterapkan di Malaysia.
"Karena sangat rawan apalagi kalau mengarah pada ISA. Praktik seperti ISA itu di negara tetangga dipakai untuk kepentingan politik dengan alasan mencegah terorisme," kata Fadli.
Sementara itu, Anggota Pansus RUU Antiterorisme Bobby Rizaldi mengatakan, pihaknya berupaya menyelesaikan pembahasan pada bulan Oktober atau November tahun ini.
"Mengingat banyak sekali yang perlu disepakati bersama antara Pansus dan pemerintah," ujar Bobby.
Salah satu yang menjadi bahasan antara lain, kata Bobby adalah masa penahanan tindakan preventif dari tujuh hari menjadi 30 hari. Dan juga, pelaksanaan program deradikalisasi, perlindungan korban teror dan keterlibatan anak dalam aksi terorisme.
Menurutnya, isu-isu tersebut juga perlu disinkronisasi dengan UU lain seperti KUHP dan lembaga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
"Melihat dinamika hari ini, Pansus dan pemerintah juga bisa mempercepatnya. Nanti akan didiskusikan bersama," ujar dia.
Sedangkan Ketua Pansus RUU Antiterorisme Muhammad Syafii mengklaim tidak ada kendala dalam pembahasan. Meski definisi terorisme belum dirumuskan, Syafii menyebut hal itu tidak menjadi masalah.
Pemerintah meminta agar revisi UU antiterorisme dipercepat, menyusul aksi bom bunuh diri di Kampung Melayu, dua hari lalu.
Menko Polhukam Wiranto, mengatakan, aparat keamanan tidak bisa bertindak maksimal dalam mencegah terorisme, karena terbentur Undang-Undang. Kata Wiranto aparat membutuhkan upaya keras untuk menindak para pelaku yang terindikasi akan melakukan aksi terorisme.