Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat menilai, opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diperoleh lembaganya merupakan hal yang wajar. MK telah mendapatkan opini WTP sebanyak 11 kali secara berturut-turut sejak tahun 2006.
"Kemarin kami dapat WTP lagi. Sudah 11 kali dapat, masa masih mau aneh-aneh sih kami," ujar Arief di gedung MK, Jakarta, Selasa (30/5).
Arief mengatakan, selama ini pihaknya telah berupaya membangun sistem yang transparan di MK. Ia mengklaim tak pernah memaksa sedikit pun pada BPK agar lembaga yang dipimpinnya memperoleh opini WTP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus suap yang menimpa salah satu hakim konstitusi Patrialis Akbar beberapa waktu lalu, dinilai Arief tak banyak berpengaruh pada hasil audit oleh BPK. Menurutnya, kasus itu menjadi tanggung jawab individu bukan lembaga.
"Buktinya lembaganya masih dapat penghargaan. Kami juga tidak pernah memaksa kok untuk dapat WTP," katanya.
Meski demikian, Arief tak menampik di setiap lembaga, termasuk MK, akan selalu ada individu yang bermasalah atau bertindak curang. Namun ia menegaskan, perlu kerja sama yang kuat antara orang dengan sistem dalam sebuah lembaga untuk mengantisipasi terjadinya kecurangan tersebut.
"Sistem sudah kami bangun, tapi yang penting siapa yang menjalankan. Kalau masih ada yang aneh ya akan tetap ada kecurangan seperti itu," tuturnya.
Dalam urutan opini BPK terhadap laporan keuangan pemerintah daerah maupun lembaga kenegaraan, opini WTP berada pada urutan pertama. Opini WTP akan diterbitkan BPK jika laporan keuangan pemerintah daerah maupun lembaga terkait dianggap bebas dari salah satu material.
Sejumlah pihak menilai, BPK perlu melakukan audit ulang terhadap sejumlah lembaga yang mendapatkan opini WTP, menyusul kasus dugaan suap yang melibatkan auditor BPK Rochmadi Saptogiri dan pejabat Kemendes. Laporan hasil pemeriksaan MK tahun 2016 termasuk yang diaudit oleh Rochmadi.