RUU Terorisme: Antara Ketegasan dan Pelanggaran HAM

CNN Indonesia
Rabu, 31 Mei 2017 08:22 WIB
Sejumlah poin penting dalam revisi dinilai sebagai bentuk ketegasan dalam memberantas terorisme. Namun hal tersebut dinilai bisa berpotensi melanggara HAM.
Sejumlah isu mencuat dalam Revisi Undang-undang Terorisme. (CNN Indonesia/Hesti Rika Pratiwi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Isu penting dalam Revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kembali mencuat seiring dengan peristiwa bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Rabu (24/5). Pemerintah selaku inisiator revisi mendesak DPR segera menuntaskan proses legislasi UU tersebut.

Dalam draft yang diajukan oleh pemerintah, terdapat sejumlah pasal baru yang diklaim sebagai solusi untuk mengantisipasi berkembangnya tindak pidana terorisme. Pasal-pasal itu juga seolah bentuk penggambaran pemerintah bahwa tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana luar biasa yang harus diperlakukan secara khusus.  

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu menyatakan, secara umum draft RUU yang dirancang pemerintah didesain lebih baik ketimbang UU yang berlaku saat ini. Namun, ada sejumlah isu krusial dalam draft tersebut yang rentan melanggar hak asasi manusia.  

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menilai, potensi pelanggaran HAM timbul dari sejumlah pasal yang direkomendasikan oleh pemerintah secara sepihak demi alasan keamanan tanpa mempertimbangkan HAM dan hukum acara yang belaku di Indonesia.  

“Dari awal jelas meminta supaya potensi terjadinya pelanggaran HAM dihindari sedini mungkin,” kata Erasmus kepada CNNIndonesia.com.
 
Sejalan dengan pedebatan publik, pasal krusial pertama yang berpotensi melanggar HAM adalah soal penambahan masa penangkapan dan penahanan terhadap terduga teroris. Dalam draft tersebut, pemerintah menambah masa penahanan terduga teroris dari semula enam bulan menjadi 540 hari hingga proses penuntutan.  

Menurut Erasmus, sejatinya pasal tersebut tidak boleh ada. Meski terorisme berbeda dengan tindak pidana lain, pemerintah seharusnya tetap mengedepankan berbagai pertimbangan dalam mengeluarkan kebijakan. Pasalnya, pendekatan yang dibangun dalam UU Terorisme sejak awal adalah pendekatan due procces atau pendekatan yang mengutamakan keadilan dan hak tersangka/ terdakwa.  
Ia menuturkan, pendekatan due process seiring sejalan dengan pendekatan criminal justice, di mana aparat hukum diberi batasan dalam melakukan penanggulangan setiap tindak pidana, termasuk terorisme agar tidak melanggar HAM.  

“Bagi kami, pasal seperti itu tidak boleh ada,” ujarnya.
 
Berdasarkan catatan ICJR, tak ada satu pun kasus terorisme yang tidak dibawa ke persidangan dan tidak diputus bersalah. Seluruh kasus itu, kata dia, menunjukkan bahwa lamanya penahanan dalam UU yang berlaku saat ini masih efektif dan tidak pelu direvisi.  

Selain berpotensi kuat melanggar HAM, penambahan masa tahanan juga bertentangan dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang bertujuan untuk mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik. Dalam konvensi itu ditekankan bahwa tersangka atau terdakwa harus sesegra mungkin dihadapkan ke muka persidangan untuk kepentingan pembuktian.  

“Kami sebenarnya terbuka, tapi berikan hitungan yang rasional. Tidak bisa seperti mengocok dadu,” kata Erasmus.  

Pasal kedua yang dianggap bakal melanggar HAM yakni soal masa penangkapan terduga teroris dari 7x24 jam menjadi 30 hari hingga penetapan statusnya lebih lanjut. Terbitnya pasal itu dinilai akibat dari tidak pahamnya pemerintah atas definisi penahanan.  
Menurutnya, masa penahanan dalam UU saat ini juga sebenarnya sudah bertentangan dengan ketentuan penangkapan yang diatur dalam KUHAP, yakni 1x24 jam. Namun, lagi-lagi lantaran terorisme dianggap sebagai tindak pidana yang berdampak signifikan, sehingga masa penangkapan dalam UU saat ini dianggap wajar.  

Erasmus menuturkan, penangkapan merupakan proses paling krusial bagi Kepolisian menentukan status seseorang lebih lanjut. Dalam masa itu, kepolisian dituntut memiliki minimal dua alat bukti yang cukup untuk meningkatkan status tersangka  orang yang ditangkap.  

Jika masa penangkapan ditambah signifikan, Erasmus khawatir Kepolisian akan bertindak tanpa mengutamakan alat bukti dan mengesampingkan HAM dari sesorang yang diringkus karena diduga teroris.  

“Kami memahami tingkat kesulitan dari tindak pidana terorisme yang membutuhkan kemampuan lebih dalam penyidikan. Hanya masalahnya, kalau ada ide melakukan penangkapan selama 30x24 jam, harus ada alasan yang betul-betul kuat (kepada terduga),” ujarnya. 

Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER