Jakarta, CNN Indonesia -- Isu penting dalam Revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme kembali mencuat seiring dengan peristiwa bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Rabu (24/5). Pemerintah selaku inisiator revisi mendesak DPR segera menuntaskan proses legislasi UU tersebut.
Dalam draft yang diajukan oleh pemerintah, terdapat sejumlah pasal baru yang diklaim sebagai solusi untuk mengantisipasi berkembangnya tindak pidana terorisme. Pasal-pasal itu juga seolah bentuk penggambaran pemerintah bahwa tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana luar biasa yang harus diperlakukan secara khusus.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus AT Napitupulu menyatakan, secara umum draft RUU yang dirancang pemerintah didesain lebih baik ketimbang UU yang berlaku saat ini. Namun, ada sejumlah isu krusial dalam draft tersebut yang rentan melanggar hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menilai, potensi pelanggaran HAM timbul dari sejumlah pasal yang direkomendasikan oleh pemerintah secara sepihak demi alasan keamanan tanpa mempertimbangkan HAM dan hukum acara yang belaku di Indonesia.
“Dari awal jelas meminta supaya potensi terjadinya pelanggaran HAM dihindari sedini mungkin,” kata Erasmus kepada
CNNIndonesia.com. Sejalan dengan pedebatan publik, pasal krusial pertama yang berpotensi melanggar HAM adalah soal penambahan masa penangkapan dan penahanan terhadap terduga teroris. Dalam draft tersebut, pemerintah menambah masa penahanan terduga teroris dari semula enam bulan menjadi 540 hari hingga proses penuntutan.
Menurut Erasmus, sejatinya pasal tersebut tidak boleh ada. Meski terorisme berbeda dengan tindak pidana lain, pemerintah seharusnya tetap mengedepankan berbagai pertimbangan dalam mengeluarkan kebijakan. Pasalnya, pendekatan yang dibangun dalam UU Terorisme sejak awal adalah pendekatan due procces atau pendekatan yang mengutamakan keadilan dan hak tersangka/ terdakwa.
Ia menuturkan, pendekatan due process seiring sejalan dengan pendekatan criminal justice, di mana aparat hukum diberi batasan dalam melakukan penanggulangan setiap tindak pidana, termasuk terorisme agar tidak melanggar HAM.
“Bagi kami, pasal seperti itu tidak boleh ada,” ujarnya.
Berdasarkan catatan ICJR, tak ada satu pun kasus terorisme yang tidak dibawa ke persidangan dan tidak diputus bersalah. Seluruh kasus itu, kata dia, menunjukkan bahwa lamanya penahanan dalam UU yang berlaku saat ini masih efektif dan tidak pelu direvisi.
Selain berpotensi kuat melanggar HAM, penambahan masa tahanan juga bertentangan dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang bertujuan untuk mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik. Dalam konvensi itu ditekankan bahwa tersangka atau terdakwa harus sesegra mungkin dihadapkan ke muka persidangan untuk kepentingan pembuktian.
“Kami sebenarnya terbuka, tapi berikan hitungan yang rasional. Tidak bisa seperti mengocok dadu,” kata Erasmus.
Pasal kedua yang dianggap bakal melanggar HAM yakni soal masa penangkapan terduga teroris dari 7x24 jam menjadi 30 hari hingga penetapan statusnya lebih lanjut. Terbitnya pasal itu dinilai akibat dari tidak pahamnya pemerintah atas definisi penahanan.
Menurutnya, masa penahanan dalam UU saat ini juga sebenarnya sudah bertentangan dengan ketentuan penangkapan yang diatur dalam KUHAP, yakni 1x24 jam. Namun, lagi-lagi lantaran terorisme dianggap sebagai tindak pidana yang berdampak signifikan, sehingga masa penangkapan dalam UU saat ini dianggap wajar.
Erasmus menuturkan, penangkapan merupakan proses paling krusial bagi Kepolisian menentukan status seseorang lebih lanjut. Dalam masa itu, kepolisian dituntut memiliki minimal dua alat bukti yang cukup untuk meningkatkan status tersangka orang yang ditangkap.
Jika masa penangkapan ditambah signifikan, Erasmus khawatir Kepolisian akan bertindak tanpa mengutamakan alat bukti dan mengesampingkan HAM dari sesorang yang diringkus karena diduga teroris.
“Kami memahami tingkat kesulitan dari tindak pidana terorisme yang membutuhkan kemampuan lebih dalam penyidikan. Hanya masalahnya, kalau ada ide melakukan penangkapan selama 30x24 jam, harus ada alasan yang betul-betul kuat (kepada terduga),” ujarnya.
Lebih lanjut, Erasmus menyampaikan, pasal krusial yang juga cukup dikhawatirkan melanggar HAM adalah pelibatan TNI dalam penaggulangan terorisme tanpa persetujuan presiden. Ia menilai, pasal itu memberi celah bagi TNI melakukan penyidikan hingga penuntutan yang sebenarnya dimiliki oleh Kepolisian atau Kejaksaan.
Erasmus kembali menjelaskan, pelibatan TNI tanpa izin presiden juga sejatinya bertentangan dengan pendekatan yang digunakan dalam UU Terorisme, yakni pendekatan criminal justice. Pendekatan itu mengedepankan peradilan pidana di mana Kepolisian sebagai pihak yang memiliki kewenangan penuh dalam penindakan.
Menurutnya, pelibatan TNI seharusnya tetap berpacu pada aturan dalam UU Nomor 34/2004 tentang TNI. Dalam poin ketiga pasal 7 ayat (2) huruf b menyebutkan operasi militer selain perang yang bisa dilakukan TNI yakni mengatasi aksi teroris.
Namun, pasal 7 ayat (3) dikatakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.
“Kami sudah mengatakan tidak alergi dengan keterlibatan TNI, silakan saja. Tapi tidak urgent kalau diatur dalam UU Terorisme (baru). Sudah serahkan saja dalam mekanisme yan sudah ada,” ujarnya.
Pasal Krusial Yang Harus Ada Erasmus menyatakan, pasal yang seharusnya masuk ke dalam RUU tersebut, yakni soal rehabilitasi dan ganti rugi bagi korban terorisme secara khusus. Saat ini penanganan para korban masih berdasarkan ketentuan UU Nomor 31/2014 tentang perubahan atas UU Nomor 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Menurutnya, ganti rugi dan rehabilitasi bagi korban terorisme harus diatur secara terpisah atau diatur dalam ketentuan peralihan. Pasalnya, aturan dalam UU Nomor 31/2014 harus menunggu keputusan pengadilan sebelum proses ganti rugi atau rehabilitasi dilaksanakan oleh pihak terkait.
Tak hanya itu, mekanisme dalam UU tersebut tidak jelas dan membuat hak para korban terpinggirkan.
“Bagi kami nomor satu yang perlu diatur adalah masalah korban. Hak korban selama ini masih diletakkan sejajar dengan UU Perlindungan Saksi dan Korban yang menurut kami justru sebenarnya sumber masalah,” ujarnya. Berdasarkan data ICJR, tidak satupun korban terorisme yang pernah mendapat ganti rugi dalam bentuk uang dari pemerintah, dalam hal ini dari Kementerian Keuangan. Seluruh korban sampai saat itu hanya bisa pasrah meski proses peradilan menyatakan berhak mendapat ganti rugi.
Di sisi lain, ia berharap, DPR dan pemerintah mampu duduk bersama menyelesaikan segala polemik dalam RUU tersebut. Ia berkata, pengesahan RUU Terorisme tidak perlu dilakukan secara tergesa-gesa agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM.
Lebih dari itu, ia menekankan, RUU yang diklaim sangat tegas menindak teroris itu juga belum tentu berhasil meredam terorisme. Selama keadilan sosial tidak berjalan dengan baik dan ketimpangan di masyarakat masih ada, maka tindak pidana dengan tujuan tertentu seperti terorisme masih akan terjadi di Indonesia.