Teroris Kerap Jadikan Penjara Sebagai Sekolah Jihad

CNN Indonesia
Sabtu, 03 Jun 2017 20:32 WIB
Terpidana kasus terorisme jangan dicampur dengan terpidana kasus lain. Banyak narapidana terorisme justru menjadikan penjara sebagai lokasi pelatihan.
Banyak narapidana kasus terorisme justru menjadikan penjara sebagai lokasi pelatihan jihad dan merekrut anggota baru. (REUTERS/Dadang Tri)
Jakarta, CNN Indonesia -- Lokasi penahanan terpidana terorisme harus diatur ulang. Karena, banyak narapidana kasus terorisme justru menjadikan penjara sebagai lokasi pelatihan jihad dan merekrut anggota baru.

Menurut Peneliti Kajian Strategis Intelijen Universitas Indonesia Ridlwan Habib, terpidana kasus terorisme jangan dicampur dengan terpidana kasus lain saat menjalani hukum.

"Tapi yang terjadi saat napi teroris dipenjara, berubah jadi sekolah jihad. Dan menjadi tempat pelatihan mereka," kata Ridlwan dalam diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (3/6).
Belum adanya peraturan khusus tentang penangan narapidana terorisme, kata Ridlwan, membuat sipir tidak dapat berbuat banyak mencegah penyebaran radikalisme di penjara.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia melanjutkan, sebagian sipir mengeluh, lantaran tidak bisa melarang para narapidana ketika berkumpul dan berdiskusi.

"Nah dari sana keliatan. Bahkan ada juga salah satu dari mereka memegang kendali, saat membeli banyak senjata dari Filipina," ungkapnya.

Sistem Criminal Justice

Kadivhumas Polri Irjen Pol Setyo Wastito mengungkapkan, Indonesia menggunakan sistem criminal justice dalam penanganan terorisme. Artinya setiap kasus terorisme harus berakhir di pengadilan.

Berbeda dengan Malaysia yang menggunakan model internal act security dalam penanganan terorisme. Bila menggunakan model internal act security, setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme bisa dipenjarakan tanpa melalui proses pengadilan.
Namun, kata Setyo, pelaksanaan penanganan terorisme di lapangan tidak semudah yang dibayangkan. Polisi terkadang menindak tegas para pelaku terorisme.

Dia mencontohkan, kasus penangkapan pelaku terorisme di Solo, Jawa Tengah beberapa waktu lalu. Setelah ditangkap, pelaku ternyata memiliki senjata api dan menembak petugas. Polisi pun mengambil tindakan keras terhadap pelaku.

"Kalau berhadapan kami tidak tahu, dia pakai senjata apa tidak. Kami ada Standar Operasional," kata Setyo.

Kendati demikian, Setyo menambahkan, selama ini 90 persen penanganan kasus terorisme tetap mengacu kepada informasi yang diberikan intelijen. Sedangkan sisanya, baru penindakan jika dalam keadaan memaksa.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER