Sederet Kasus Suap Jaksa Dibalas Apresiasi Prasetyo untuk KPK

CNN Indonesia
Sabtu, 10 Jun 2017 17:10 WIB
Komisi Kejaksaan mengkritik Jaksa Agung Prasetyo yang hanya melontarkan apresiasi bagi KPK karena berhasil menangkap anak buahnya yang terjerat kasus suap.
Gedung Kejaksaan Republik Indonesia. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Penangkapan Kepala Seksi III Intel Kejaksaan Tinggi Bengkulu Parlin Purba oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah daftar hitam anggota Korps Adhyaksa. Jauh sebelum Parlin sudah ada jaksa yang tertangkap basah terima suap. Sementara Jaksa Agung Muhammad Prasetyo hanya bisa mengapresiasi KPK.

"(Penangkapan Jaksa Parlin) sebenarnya tidak bisa dijelaskan secara sederhana, itu merupakan kombinasi berbagai hal, jadi tidak bisa hanya jaksa agung atau jamwas mengatakan mengapresiasi KPK karena melakukan penangkapan," kata Komisioner Komisi Kejaksaan, Ferdinand T. Andi Lolo saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Jumat (9/6).

Parlin ditangkap usai menerima suap dari pejabat pembuat komitmen di Balai Wilayah Sungai Sumatera VII Bengkulu, Amin Anwari dan Direktur PT Mukomuko Putra Selatan Manjuto, Murni Suhardi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nilai suap yang diterima Parlin diduga sebesar RP160 juta. Sebanyak Rp10 juta diamankan setelah operasi tangkap tangan (OTT), sementara Rp150 juta telah diberikan lebih awal.

Merunut ke belakang, penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan merupakan kasus yang cukup mengejutkan pada Februari 2008 silam. Dalam bekas jaksa yang telah dipidana itu, Urip menerima suap US$660 ribu dari pengusaha Artalyta Suryani.

Suap itu terkait penanganan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diterima Sjamsul Nursalim. Urip merupakan ketua tim jaksa yang menyelidiki kasus itu.

Kemudian Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Subri, dicokok KPK pada Desember 2013. Subri menerima suap dari pengusaha bernama Lusita sebesar US$16,4 ribu dan Rp23 juta terkait kasus pemalsuan sertifikat tanah.
Komisioner Komisi Kejaksaan Komisioner Komisi Kejaksaan Ferdinand Andi Lolo (kiri). (CNN Indonesia/Prima Gumilang)
KPK juga menangkap tangan jaksa Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Devyanti Rochaeni lantaran menerima suap dari pihak yang perkaranya ia tangani, pada April 2016. Kasus ini juga menjerat jaksa Fahri Nurmallo yang dipindah ke Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.

Jaksa-jaksa tersebut belum termasuk yang terjerat dari pengembangan kasus, seperti jaksa di Kejaksaan Negeri Padang Fahri. Belum lagi, jaksa yang diduga ikut terseret namanya dalam sebuah kasus.

Beberapa di antaranya, Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Pidana Khusus Tomo Sitepu. Keduanya terseret kasus suap terkait penanganan perkara.

Selain itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Maruli Hutagalung juga disebut-sebut menerima uang Rp500 juta terkait kasus yang menjerat eks gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho.

Menurut Ferdinand, Jaksa Agung Prasetyo yang memimpin kejaksaan hampir tiga tahun, semestinya bisa belajar dari rentetan kasus yang melibatkan para jaksa. Komisi Kejaksaan sebagai salah satu lembaga yang berperan mengawasi perilaku jaksa, menilai ada persoalan di internal Kejagung.

"Seharusnya dari berbagai OTT yang telah dilakukan terhadap jaksa itu perlu dilihat ada masalah. Ada masalah di dalam Kejaksaan Agung," tuturnya.

Ferdinand mengkritik Prasetyo yang hanya bisa melontarkan apresiasi bagi KPK karena berhasil menangkap anak buahnya yang terjerat kasus suap. Bekas politikus Partai NasDem itu memang kerap menyampaikan kalimat apresiasi.

Prasetyo juga menyebut akan melakukan pembenahan di tubuh Korps Adhyaksa, agar praktik menerima suap tak diulangi jajarannya. Pada tahun lalu, Prasetyo menyatakan bakal menghilangkan suap-menyuap di lingkungannya.

"(Pemberantasan korupsi di Kejaksaan) itu tidak bisa hanya dikatakan, 'jangan melakukan perbuatan tercela'. Harus ada aksi nyata, dilihat masalah-masalahnya apa," tuturnya.

Ferdinand mengajak Prasetyo dan jajarannya di Kejagung untuk duduk bersama Komisioner Komjak, guna membangun sebuah sistem yang bisa mengubah mental para jaksa.

Menurut Ferdinand, dari penelitian yang dilakukan pihaknya, ada sejumlah masalah di Kejaksaan, salah satunya soal biaya operasional yang tak mampu ditutupi anggaran negara.

"Komjak telah memberikan usul terkait penanganan soal biaya operasi agar tak mencari dari tempat lain. Namun jawabannya (kejaksaan) masih normatif, (hanya) terima kasih," tutur dia.

Faktor Kepemimpinan Prasetyo

Di sisi lain, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin menyatakan, tertangkapnya kembali jaksa yang diduga menerima suap terjadi karena tak ada ketegasan dari Prasetyo.

Boyamin menuding, mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum ini tak mampu melakukan pembenahan di institusi Kejakasaan. Tak hanya itu, Boyamin menyebut Prasetyo tak memberikan teladan yang baik di jajarannya.

"Karena Jaksa Agung Prasetyo tidak mampu membenahi, mereformasi, memberikan teladan ke anak buah dalam pemberantasan korupsi," kata Boyamin dihubungi terpisah.

Menurut Boyamin, selama hampir tiga tahun memimpin Kejagung, penanganan kasus, terutama korupsi tak pernah sampai tuntas dan tak jelas rimbanya. Kebiasaan ini lah, tambah Boyamin, yang bisa saja ditiru jaksa-jaksa yang ada di kejaksaan tinggi hingga negeri.

"Karena di atas menangani kasus korupsi tidak tuntas, anak buah bisa berpikir jangan-jangan ada permainan juga di atas. Jadi pernyataan jaksa agung hanya retorika," tuturnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER