ANALISIS

Percaya Densus Antikorupsi, Percaya Polri

CNN Indonesia
Selasa, 25 Jul 2017 05:54 WIB
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan tugas Densus Antikorupsi tidak akan tumpang tindih dengan kerja KPK.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan tugas Densus Antikorupsi tidak akan tumpang tindih dengan kerja KPK. (Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana pembentukan Densus Antikorupsi Polri muncul ketika Dewan Perwakilan Rakyat lagi hangat-hangatnya membahas Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik atau (e-KTP).

KPK menyambut positif, apalagi DPR menyatakan mendukung penuh.

Komentar publik pun tak sedikit. Ini skenario melemahkan lembaga anti rasuah yang tak pernah berhenti sejak wacana revisi UU KPK tahun 2016 yang kemudian dibatalkan karena kuatnya penolakan publik.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pendiri lembaga advokasi hukum dan hak asasi manusia Lokataru, Harris Azhar misalnya, menilai Densus hanyalah sebuah dagelan. Alih-alih membantu tugas KPK, Polri nyata-nyata belum mampu melindungi kerja KPK. Itu terjadi pada kasus Novel Baswedan yang hingga hari keseratusnya belum terkuak siapa pelakunya, demikian kata Haris kepada media Tempo di Jakarta beberapa waktu lalu.


Namun, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, penggagas ide menyatakan lain. Menurut Tito, kerja Densus Antikorupsi nantinya lebih menguatkan kerja KPK. Kewenangan Densus Antikorupsi disebut akan sama seperti KPK. Sebab, Tito mengatakan kemampuan penyelidikan tindak pidana korupsi sudah dimiliki Polri sejak lama.

Di samping itu, Tito juga menyatakan tugas Densus Antikorupsi tidak akan tumpang tindih dengan kerja KPK.

Kordinator Tim Pembela Demokrasi Petrus Selestinus mengatakan kehadiran Densus Antikorupsi bisa saja berbuah baik atau malah sebaliknya yakni mau mengambil alih tugas dan kewenangan KPK.

Kata Petrus, skenario yang sama ini mirip dengan cara pembubaran lembaga Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang dibentuk Presiden Abrurahman Wadih atau Gus Dur tujuh tahun lalu. KPKPN kemudian dilebur menjadi KPK di era Megawati Soekarnoputri melalui UU nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK.


Saat KPKPN eksis, semua kekayaan pejabat negara harus dilaporkan dan lampirannya diperiksa dan diumumkan ke publik melalui media massa. Akibatnya, kata mantan anggota KPKPN ini, banyak pejabat yang takut karena kekayaan yang diperoleh dari korupsi langsung diketahui.

"Tidak seperti sekarang LHKPN Pejabat hanya disimpan di gudang KPK tanpa diumumkan ke publik dan tanpa diperiksa," kata Petrus kepada CNNIndonesia.com di Jakarta kemarin.

Tak mau lebih jauh mempersoalkan LHKPN yang tak diumumkan itu, Petrus mengaku kinerja KPK saat ini terbukti bagus dengan tingginya tingkat kepercayaan masyarakat.

Petrus mengatakan, semangat kehadiran Densus Antikorupsi yang berbarengan dengan bergulirnya Hak Angket justru menjadi pertanyaan besar bagi Polri untuk menyelesaikan masalah korupsi. Kata kuncinya adalah soal kepercayaan publik terhadap instuisi Polri.

"Densus, tanpa mengubah karakter korup aparat penyidik dan pimpinan Polri pasti akan sia-sia dan ini tidak bisa hanya disiapkan dalam waktu singkat," ujarnya.


Memang dari berbagai survei, tingkat kepercayaan publik kepada KPK sangat jauh di atas Polri.

Lembaga survei Polling Centre bekerja sama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan survei antikorupsi 2017 yang dirilis empat hari lalu. KPK dan Istana Kepresidenan berada di puncak kepercayaan paling tinggi yakni 86 persen. Sementara Polri, termasuk DPR memperoleh nilai masing-masing 57 persen dan 51 persen.

Angka ini rupanya belum berubah sejak tahun 2016 lalu di tengah perdebatan panas soal revisi UU KPK.

Lembaga survei Indo Barometer mencatat, tingkat kepercayaan terhadap KPK hampir dua kali lipat tingkat kepercayaan terhadap kepolisian dan kejaksaan. Sebanyak 82 persen publik mengaku percaya dengan KPK. Hanya 11,2 persen yang mengaku tidak percaya dengan lembaga antirasuah itu.

Sementara tingkat kepercayaan publik terhadap Kepolisian RI hanya mencapai 56,6 persen. Sisanya seebesar 34,5 persen mengaku tidak percaya dengan kepolisan.


Menurut Petrus, tingkat kepercayaan publik yang rendah ini menjadi pertanyaan besar bagi kehadiran Densus Antikorupsi, terutama muncul saat Hak Angket KPK bergulir.

Apalagi, kata Petrus, soal pemberantasan korupsi di Polri sangat minim karena banyak kasus jalan di tempat tanpa ada target waktu kapan diselesaikan.

"Makanya koruptor paling senang kasusnya ditangani Polri atau Kejaksaan karena bisa santai hingga beranak pinak," katanya.

Pengamat politik Universitas Padjajaran Idil Akbar mengatakan wacana Densus Antikorupsi sejatinya menjadi momentum baru untuk mempercepat pememberantasan korupsi. Hanya saja, kata Idil, Polri harus mempersiapkannya dengan matang termasuk tata administrasi hukumnya.

Idil mengatakan administrasi hukum sangat penting sebagai legal standing Densus Antikorupsi nantinya.

"Namun, pembentukannya jangan sampai juga menabrak aturan dan dalam prosesnya juga nanti berpotensi tumpang-tindih akibat dari pola yg diberlakukan tidak cukup jelas dan clear," kata Idil kepada CNNIndonesia.com.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER