Jakarta, CNN Indonesia -- Permasalahan internal di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini mencuat ke publik. Direktur Penyidikan KPK Brigadir Jenderal Aris Budiman yang 'membuka' adanya 'friksi' di tubuh lembaga antirasuah saat rapat bersama Panitia Khusus Hak Angket DPR terhadap KPK.
Aris menyampaikan, ada sosok
powerful di KPK, yang bisa mempengaruhi kebijakan pimpinan KPK. Sosok itu adalah penyidik senior KPK Novel Baswedan.
Tak hanya itu, Aris secara terbuka menyatakan, merasa tersinggung dengan
email protes yang dikirim Novel pada 14 Februari 2017. Protes Novel ini terkait kebijakan Aris merekrut penyidik KPK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jenderal bintang satu itu akhirnya melaporkan Novel ke Polda Metro Jaya. Dia menuding Novel melakukan pencemaran nama baik lewat surat elektronik tersebut. Aris mengklaim Novel turut menyebarkan email itu ke pihak luar KPK.
Mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua menyesalkan tindakan yang diambil Aris dengan melaporkan Novel terkait email protes ke Polda Metro. Abdullah menilai Aris tak paham tentang mekanisme email internal yang diterapkan lembaga antirasuah itu.
"Dia (Aris Budiman) lupa bahwa
email itu merupakan mekanisme internal KPK, di mana semua persoalan internal di dalam email itu," kata Abdullah.
Kepada
CNNIndonesia.com, Minggu (3/9) lalu, Abdullah menjelaskan tentang sistem komunikasi antarpegawai maupun pimpinan KPK yang dilakukan lewat email internal itu. Berikut petikannya:
Apakah langkah Dirdik KPK Aris Budiman yang menghadiri rapat Pansus Angket tanpa izin pimpinan KPK, masuk kategori pelanggaran berat? Jika benar tak dizinkan pimpinan menghadiri pansus di DPR, berarti itu sudah satu pembangkangan, sehingga itu masuk pelanggaran.
Dia (Aris Budiman) sebut, datang sebagai perwira polisi, itu kesalahan fatal. Karena menurut UU KPK, polisi, jaksa atau auditor yang dipekerjakan di KPK berhenti sementara di instansi. Jadi putus hubungan struktural instansinya. Sehingga, dia di sana (KPK) bukan polisi, bukan jaksa, dia di sana adalah pegawai KPK. Jadi atasannya satu pimpinan KPK, bukan Mabes Polri atau Kejagung.
Soal laporan Aris ke polisi terkait email Novel Baswedan?Saya tidak tahu apakah (Aris) mengerti atau tidak, paham atau tidak dia melaporkan Novel Baswedan dengan tuduhan pencemaran nama baik, melalui
email. Dia lupa bahwa
email itu merupakan mekanisme internal KPK, di mana semua persoalan internal di dalam
email. Antara sesama pegawai, pegawai dengan atasan, atasan dengan atasan, pegawai dengan pimpinan, komisioner dengan komisioner, komisioner dengan pegawai, jadi sama.
Polda juga tidak boleh terima laporan itu, karena itu tidak termasuk dalam domain pidana. Karena
email internal masuk sistem manajemen KPK. Jadi,
email itu masuk hukum administrasi negara, bukan pidana.
Itu berati bahwa Polda tidak paham tentang sistem administrasi negara dan tentu Aris juga tak paham bahwa ini bukan pidana.
Saya berikan contoh, selama lebih dari delapan tahun, saya di KPK, ada yang keras, ada yang sampai marah-marah, itu diskusi di dalam internal
email itu. Komisioner juga
nimbrung, tapi ketika pimpinan terakhir ketua sudah memberikan klarifikasi atau segala macam, kemudian ketua mengatakan, stop sampai di sini, selesai.
Diskusi via
email itu mungkin selama beberapa hari, tiga hari. Ketika ketua anggap sudah cukup, stop sampai di sini, semua taat.
Kalau tidak salah pada 2006 atau 2007, salah satu
email saya ditanggapi penyidik, yang keras dan menyatakan tidak setuju dengan pendapat saya. Dan pernyataannya ditulis pakai warna merah. Kemudian ketua memerintahkan pengawas internal memeriksa dia, karena dianggap melanggar kode etik.
Sebab di dalam kode etik KPK, menggunakan tulisan, warna itu pun diatur, tidak boleh pakai warna merah. Maka diperiksa PI (Pengawas Internal). Saya diundang, diperiksa sebagai saksi. Jadi, itu mekanisme di KPK soal bagaimana berkomunikasi antara sesama internal KPK, baik pegawai pegawai, pegawai dengan pejabat.
Jadi itu mekanisme, terjadi komunikasi, jika ada yang tersinggung, ya didiskusikan. Kalau merasa tidak puas bisa lapor ke Pengawas Internal. Kasus Novel sama Aris sudah ditangani Pengawas Internal. Sebab beberapa bulan lalu saya diundang sebagai ahli. Untuk menanyakan berdasarkan pengalaman saya menangani masalah pelanggaran kode etik.
Apalagi, selama delapan tahun di sana, saya sepuluh kali menjadi majelis. Saya enam kali ketua, dan empat anggota. Itu untuk pegawai.
Jadi SOP di KPK itu, kalau pegawai melakukan kesalahan atau pelanggaran ringan, atasan langsung menegur. Jadi kalau penyidik, penyelidik, atau jaksa itu Kasatgas langsung, kalau tidak bisa ke Direkturnya. Tapi kalau pelanggarannya sedang atau berat, itu dilaporkan ke Pengawas Internal. Nah Pengawas Internal memeriksa, menemukan petunjuk, dua alat bukti, maka masuk ke DPP, Dewan Pertimbangan Pegawai.
Saat diundang sebagai ahli di kasus email Novel ke Aris Budiman bagaimana?Itu bukan sidang, masih di Pengawasan Internal. Itu mereka mau tetapkan apakah melanggar kode etik atau tidak, sehingga akan dibentuk majelis DPP atau tidak. Jadi saya bilang, kalau misalnya yang disampaikan Novel merupakan putusan Wadah Pegawai, karena dia Ketua Wadah pegawai, Novel tidak salah. Dia wajib menyampaikan itu karena dia Ketua Wadah pegawai.
Oleh karena itu saya meminta keterangan dari pengurus Wadah Pegawai lain, apakah itu sudah menjadi putusan Wadah Pegawai, kalau ternyata bukan putusan wadah pegawai, maka Novel keliru atau salah.
Dari situ saya sarankan, kalau ditemukan alat buktinya, dibentuk DPP. Kemudian pemeriksa menanyakan ke saya, kalau kemudian tidak termasuk pelanggaran berat bagaimana? Saya bilang, kalau tidak masuk pelanggaran berat itu atasan langsung yang berikan teguran. Kalau atasan langsungnya Dirdik pak, ya atasannya Dirdik. Jadi Dirdik yang berikan langsung peringatan, kalau itu pelanggaran ringan.
Nah waktu itu Novel sudah di Singapura, sehingga saya tidak tahu perkembangannya, apakah sampai ke DPP atau tidak. Untuk Novel, dia tak sampai DPP, pimpinan langsung berikan SP2 (Surat Peringatan) ke Novel, tetapi karena protes dari masyarakat, dan bekas komisioner, SP2 dicabut.
Kalau SP2 saya tidak setuju, karena itu harus diuji dalam sidang, diuji dalam majelis. Harus ada sidang, pemeriksaan, baru kemudian ditetapkan terbukti kesalahannya, ringan, sedang atau berat. Baru kemudian bisa SP2. Kalau ternyata tidak disidangkan tidak bisa.
Pemberian SP2 atau SP3 itu harus lewat sidang? Iya harus sidang. Harus sidang DPP. Kecuali tidak ke DPP. Putusan dalam DPP itu, ada sanksi ringan, sedang, berat. Jadi kalau ringan itu SP1, sedang SP2, berat SP3. SP3 berarti langsung diberhentikan. Jadi kalau misalnya SP2 itu harus melalui pemeriksaan. Kalau misalnya sanksi lisan atau teguran dari atasan langsung.
Hasil sidang DPP ini, berarti merupakan rekomendasi sanksi yang diberikan ke pimpinan, dan pimpinan yang eksekusi?Iya, itu rekomendasi ke pimpinan dan pimpinan yang akan eksekusi. Majelis (DPP KPK) memutuskan, putusannya adalah SP1, SP2, SP3, disampaikan ke pimpinan, eksekutor pimpinan.
Apakah ada friksi di KPK saat Anda menjadi penasihat?Kalau kelompok Novel itu yang saya tahu ada 17 orang, yang polisi. Kemudian ada penyidik independen yang bukan polisi, itu baru direkrut 2012. Total ada 20-an.
Nah, kemudian di antara mereka itu ada yang berhenti langsung dari polisi, selain Novel. Tapi kemudian ada yang masuk kelompok Novel, belakangan karena ada pertimbangan lain, tidak jadi mereka keluar dari polisi dan kembali ke instansi kepolisian.
Di samping itu ada yang bukan polisi, tapi jadi penyidik. Mereka ini direkrut Indonesia memanggil I, tahun 2005. Dan mereka diinduksi, dilatih di Polda Jawa Tengah, di Semarang selama enam bulan, dan itu disiapkan untuk penyidik. Jadi kurikulumnya segala macam disiapkan untuk penyidik. Setelah enam bulan, mereka magang di KPK, jadi sembilan bulan. Baru kemudian, mereka resmi jadi pegawai tetap KPK.
Nah, di dalam instansi kepolisian untuk jadi seorang penyidik itu kan satu tahun pendidikannya. Jadi saya sarankan komisioner KPK jilid III minta fatwa ke Mahkamah Agung, apakah KPK berwenang merekrut sendiri penyidik, kemudian Mahkamah Agung membolehkan.
Sebab di dalam UU KPK menyebutkan, penyelidik adalah penyelidik pada KPK, yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Begitu juga penyidik, penyidik pada KPK, yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Begitu juga JPU.
Tapi orang melihat, penyidik dan penyelidik yang diangkat melihat KUHAP. KUHAP mengatakan, penyelidik dan penyidik adalah perwira polisi. Sehingga kemudian multitafsir.
Apakah menurut UU KPK atau KUHAP, kemudian ketika kasus BG, dia bisa menang Praperadilan itu karena hakim menyatakan salah satu penyidik atau penyelidik yang memeriksa BG (Budi Gunawan) itu bukan polisi. Sehingga dianggap tak sah karena merujuk KUHAP. Untuk hilangkan kasus itu, minta fatwa ke MA.
Nah, kalau misalnya ada friksi antara penyidik independen dan penyidik dari polisi, itu biasanya mungkin penyidik-penyidik polisi yang baru. Kalau penyidik lama, seperti Novel, angkatan-angkatan mereka itu, tidak ada persoalan.
Mungkin penyidik-penyidik baru, angkatan 2013 ke sini yang ketika KPK dalam kondisi diintervensi segala macam, sehingga bisa saja dianggap sebagai orang yang tidak menghayati proses KPK dari awal, bagaimana susah payahnya, berdarahnya dari awal. Mungkin itu terjadi metodenya.
Tapi kemudian memang jujur, setelah edisi sekarang dianggap kemudian seperti intervensi terlalu kuat, artinya ketika Presiden Jokowi angkat sembilan anggota pansel yang tidak ada satu pun aparat penegak hukum, saya sudah mulai curiga. Setidaknya ada satu polisi atau jaksa, dari sembilan pansel itu. Padahal yang mau diangkat ini komisioner KPK, yang itu beda dengan lembaga yang lain. KPK inikan panglima perang menghadapi korupsi.
Mereka akademisi, tidak punya pengalaman disuap, tidak punya pengalaman diintimidasi, kalau polisi, jaksa punya pengalaman diintimidasi, diancam.
Sebelum Aris dilantik menjadi Dirdik pada September 2015, posisinya kosong selama dua tahun. Kekosongan ini yang menjadi masalah?Saya kira mungkin, dia kan orang baru. Tapi kan diinduksi, waktu dia diinduksi saya tidak diundang. Biasa kalau pegawai baru, saya berikan induksi, materi kode etik dan integritas.
Kedua mestinya kan, karena pimpinan juga baru, dan mereka juga tidak juga terlalu menguasai kode etik dan SOP. Karena pada waktu mereka ini kode etik baru. Jadi kode etik yang lama direvisi. Pada kode etik yang lama, pimpinan dan pegawai terpisah, setelah direvisi digabung pada 2012, setelah kasus Pak Chandra M HAmzah.
Pada waktu itu kita mau berikan hukuman tapi dalam kode etik itu tidak jelas mengatakan bahwa kalau ketemu dengan orang di sini boleh atau tidak. Jadi hanya nilai etiknya, tetapi cara berhubungan tidak disebutkan, sehingga kemudian Pak Chandra diberikan peringatan.
Tapi kemudian lahirnya komite etik, karena dua harus digabung, pimpinan dan pegawai. Karena kalau pada pegawai itu detail, tidak boleh ini, tidak boleh itu, kalau pimpinan bersifat umum. Sehingga kemudian zaman Pak Busryo Muqoddas dan di Pak AS (Abraham Samad) diperbaharui.
Saya sudah jelaskan prinsip-prinsip umum kode etik dan SOP. Tapi mungkin karena mereka ini, yang bukan birokrat ini hanya Pak Laode, dan sudah aktif di LSM antikorupsi, jadi beliau sudah tahu. Sementara Pak Agus mantan pejabat negara, ketua LKPP, PNS. Beliau jelas tegas pengadaan barang jasa, tapi dalam pengetatan kode etik dan SOP, LKPP tak sekeras KPK.
Apalagi Dirdik baru, Deputi Penindakan juga baru, sehingga waktu itu saya sesalkan kenapa terlalu cepat dikembalikan. Seharusnya deputi penindakan tak dikembalikan dulu, sampai pimpinan bisa menyesuaikan diri.
Laporan Aris terhadap Novel, apakah kondisi ini mengancam kondisi KPK? Itu lah yang saya sesalkan. Kalau Aris itu memang betul pejabat yang berintegritas, maka dia harus menjaga keutuhan di dalam. Dia lupakan persoalan pribadinya, karena itu masalah pribadi. Kenapa persoalan pribadi dibawa keluar.
Harusnya bisa diselesaikan di dalam. Apalagi, dia atasan atasan Novel. Dia bisa bertindak dengan kekuasaan itu. Persoalan internal kenapa dibawa ke luar.
Kedua saya katakan, saya sesalkan Polda Metro Jaya. Polda tidak tahu ini adalah persoalan administrasi, yang merupakan manajemn SDM KPK yang gunakan internal KPK, dan itu biasa saling kritik, itu biasa di KPK. Saya pernah alami, salah seorang pimpinan juga mengalaminya. Itu untuk koreksi dan menguatkan, dan itu bisa diselesaikan di internal.
Jadi saya menyangkan sikap yang diambil saudara Aris, bukan mencintai lembaga tapi dirinya sendiri. Dan kalau itu demikian, berarti benar tuduhan Novel, dia tidak berintegritas. Karena integritas itu di KPK ada enam pilarnya, pertama berperilaku jujur, kedua komitmen pada visi dan misi, ketiga konsisten, keempat objektif, kelima berani ambil keputusan, siap menerima risiko, keenam tanggung jawab.
Jadi soal komitmen pada visi dan misi, dan dia komitmen tidak sama visi dan misi KPK? Kalau dia komitmen berarti persoalan pribadi dikesampingkan. Di situ dia kelirunya bahwa dia merasa di sana itu polisi bukan KPK, padahal selama di sana dia KPK, bosnya komisioner KPK, bukan Mabes Polri.
Soal penyidik yang berkelompok itu, sebagaimana diceritakan Aris di Pansus seperti apa?Enggak ada itu. Misalnya dalam kasus apa saya sudah lupa. Pas AS kalau tidak salah, ada beberapa penyidik yang datang ke pimpinan, semacam demo, itu bisa diselesaikan.
Artinya ketika kebijakan pimpinan dianggap bertentangan dengan apa yang ada di lapangan, itu ada, tapi itu bisa diselesaikan tidak dibawa ke luar.
Misalnya, jadi saya mau ceritakan perbedaan di KPK, kepolisian dan kejaksaan dalam menangani perkara. Kalau di kepolisian dan kejaksaan bosnya mengatakan pakai pasal sekian, maka penyidik siap laksanakan.
Di KPK tidak ada, harus digelar perkara, mulai dari satgas sudah setuju, naik Direktorat, setuju, naik ke deputi, setuju, baru naik pimpinan. Baru di situ diputuskan tersangka. Tapi kalau di pimpinan tidak, ya tidak bisa.
Saya mau ceritakan, beberapa kali diundang dalam penindakan. Hadir semua deputi dan Direktur, sudah diputuskan tersangka, tapi seorang pimpinan sadar bahwa Direktur penuntutan tidak hadir, kemudian dicari dipanggil. Ditanya, dia bilang belum bisa pak tersangka, masih lemah.
Bayangkan dari penyelidikan, penyidik, kemudian sampai deputi, pimpinan, sudah setuju. Tapi begitu Direktur penuntutan belum bisa, tidak jadi. Nah ada Direktur yang tanya saya, kenapa pak? Saya bilang, yang bertarung di lapangan itu jaksa bukan penyidik.
Kita bisa tentukan tersangka, tapi kalau kalah menang di lapangan itu jaksa. Dan jaksa itu adalah kuncinya, kalau dia gagal di sidang, dia punya kinerja jatuh, penyidik sama penyelidik tidak.
Karena itu dia harus pastikan bahwa harus menang di Pengadilan. Seperti saya katakan, ketika seorang ditetapkan tersangka, 99 persen dijatuhkan hukuman, karena dari awal itu sudah ketat.
Sehingga ketika zaman AS, ada beberapa penyidik karena tidak cocok, mereka menghadap. Jadi akhirnya selesai persoalannya. Kenapa Aris tidak belajar dari pengalaman yang lalu. Di Indonesia ini, mana ada karyawannya yang demo atasannya.
Saat diundang sebagai ahli soal kasus email Novel ke Aris, Novel sebagai ketua Wadah Pegawai KPK?Iya sebagai ketua Wadah pegawai.
Isinya dari keputusan Wadah Pegawai KPK?Itu dia yang saya tanya. Saya bilang Anda harus periksa lagi pengurus Wadah Pegawai yang lain. Kalau yang disampaikan merupakan Wadah Pegawai, Novel tidak salah. Jika itu bukan keputusan Wadah Pegawai, berarti Novel keliru. Misalnya bila Direktur disebut tidak berintegritas, itu keputusan Wadah Pegawai atau pernyataan Novel sendiri? Kalau dari Wadah Pegawai, Novel tidak salah. Itu saran saya.
Kalau Novel tidak setuju tentang rekrutmen itu betul, karena SOP di KPK menurut Biro SDM, yang direkrut adalah penyidik. Penyidik itu orang kerja. Kalau yang direkrut pejabat untuk apa? Sebab harus orang kerja.
Kalau untuk kasatgas, orang di internal KPK sudah ada, bukan dari luar. Pertama dia harus menyesuaikan diri dengan budaya KPK, kemudian pejabat, kalau pejabat kan lain, tapi kalau misalnya penyidik KPK senior sudah punya pengalaman.
Tapi kalau memang Dirdik punya kebijakan, sebagai pejabat punya kebijakan, bisa saja. Tapi mengubah aturan yang sudah ada. Kalau aturan tak diubah, melanggar.
(djm)