Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Ketua DPR Setya Novanto memenuhi surat panggilan penyidik, untuk diperiksa sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP. Pemeriksaan dijadwalkan pada Senin 11 September 2017.
"Surat panggilan sudah kami sampaikan, kami harap Senin depan memang yang bersangkutan datang, menghadiri pemeriksaan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (8/9).
Febri mengatakan, tersangka keempat kasus korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga Rp2,3 triliun itu bisa memberikan klarifikasi dan penjelasan pada pemeriksaan perdananya nanti.
Terlebih, lanjut Febri, penyidik KPK ingin menanyakan sejumlah informasi yang didapatkan dari saksi-saksi untuk tersangka Setnov.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau ada yang ingin dijelaskan, ada yang ingin dibantah, ada yang ingin diklarifikasi, maka di sini lah ruangnya (pemeriksaan)," ujarnya.
Febri mengatakan pemeriksaan ini tak ada kaitannya dengan gugatan praperadilan yang dilakukan oleh Setnov. Menurut dia, praperadilan yang dilayangkan itu tak mempengaruhi proses penyidikan yang dilakukan KPK.
"Penyidikan tetap berjalan terus, karena tidak ada satu aturan hukum pun bahwa praperadilan harus membuat proses penyidikan ini berhenti sementara, karena itu kita akan jalan terus," kata Febri.
Keabsahan PenyidikFebri menambahkan, pihaknya sudah menerima surat dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk menghadiri persidangan dan permohonan yang diajukan tim kuasa hukum Setnov.
Saat ini, kata Febri, permohonan praperadilan itu tengah dipelajari tim Biro Hukum KPK.
"Tentu itu akan kita hadapi apa saja yang dimohonkan di sana, karena menurut pandangan kami semua sudah
clear secara hukum sebenarnya dari apa yang disampaikan (Setnov dalam praperadilan)," tuturnya.
Febri menyatakan, beberapa poin permohonan yang diajukan Setnov sudah terbantahkan secara hukum. Seperti keabsahan penyidik yang dari non-Polri atau Kejaksaan serta penetapan Setnov sebagai tersangka dalam proyek senilai Rp5,9 triliun itu.
Soal penyidik non-Polri atau Kejaksaan, jelas Febri, hal tersebut sudah ditegaskan lewat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan sesuai dengan UU Nomor 30/2002 tentang KPK, KPK berhak mengangkat penyidik sendiri atau independen.
(asa)