Jakarta, CNN Indonesia -- Pakar hukum acara pidana Adnan Paslyadja menjelaskan penetapan tersangka didasarkan bukti permulaan yang berarti mininal dua alat bukti yang cukup. Pernyataan itu ia sampaikan saat menjadi ahli yang dihadrikan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sidang praperadilan Ketua DPR Setya Novanto.
Dalam sidang ini, Anggota Biro Hukum KPK Indah Oktianti bertanya kepada Adnan mengenai kapan penetapan tersangka dilakukan terhadap seorang. Menguatkan pertanyaan ini, Indah mengacu pada Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Pasal 44 ayat (2) berbunyi: Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau optik.
Indah juga mengaitkan pasal tersebut dengan pasal 1 ayat 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ayat tersebut berbunyi: Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Apa bisa diakhir penyelidikan seseorang ditetapkan sebagai tersangka? Dengan bukti permulaan berupa minimal dua alat bukti," kata Indah di Pengadilan Jakarta Selatan (PN Jaksel), Rabu (27/9).
Adnan kemudian menjawab pertanyaan Indah. "Kalau sudah diperoleh bukti permulaan yang berupa dua alat bukti, seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka."
Adnan menjelaslan penetapan tersangka seseorang tidak harus dilakukan di awal penyidikan, saat penyidikan atau akhir penyidikan. Menurutnya penetapan tersangka bergantung pada bukti permulaan yang cukup, bukan berdasarkan proses.
Kuasa Hukum Setnov, Ketut Mulya Arsana bertanya soal penetapan tersangka dengan tahapan penyidikan. Tahapan tersebut adalah kegiatan persiapan pemeriksaan, pemeriksaan saksi (ahli, barang bukti dan calon tersangka), penggeledahan beserta penahanan, penyitaan, dan gelar perkara serta pelimpahan.
"Penyidik jelas melakukan proses itu sebelum menemukan tersangka. Proses itu dulu kemudian baru tersangka. Menurut ahli apakah seperti yang saya sampaikan?" kata Ketut.
Mendengar itu, Adnan kemudian menyanggahnya. Menurut Adnan, apa yang disampaikan hanya sebuah tahapan penyidikan. Sementara penetapan tersangka cukup sebatas dengan bukti permulaan.
"Itu tahap, di tingkat awal sudah ada bukti permulaan cukup, tidak perlu sampai tahap akhir (untuk menetapkan tersangka). Menurut saya tahapan tidak relevan (dengan penetapan tersangka). Ketika pada tahapan mana bukti cukup sudah ada, bisa menetapkan tersangka," ujar Adnan.
Sebelumnya, proses penetapan tersangka merupakan hal yang dipermasalahkan tim kuasa hukum Setnov. Menurut mereka penetapan tersangka Setnov tidak sah.
Alasannya, KPK menetapkan Setnov tersangka pada Senin (17/9). Namun pada Selasa (18/9) Setnov baru menerima Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari KPK. Kuasa hukum Setnov, Ida Jaka Mulyana menilai, seharusnya penetapan tersangka ditetapkan setelah penyidikan.
"Penetapan tersangka terhadap pemohon (Setnov) keliru karena ditetapkan tersangka dan setelah itu dilakukan penyidikan. Sehingga penetapan tersangka pemohon menyalahi KUHAP dan UU KPK sehingga harus dibatalkan," kata Jaksa saat membacakan pemohonan di PN Jaksel, Rabu (20/9) lalu.