Jakarta, CNN Indonesia -- Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) menyatakan adanya tren peningkatan jumlah penuntutan hukuman mati di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo atau
Jokowi. Pada Januari—Juni 2016 terdapat 26 perkara tuntutan dan 17 putusan hukuman mati. Jumlah ini meningkat menjadi 45 perkara tuntutan dan 33 putusan hukuman mati pada Juli 2016 hingga September 2017.
“Dibandingkan dengan tahun 2016, tren tuntutan dan vonis hukuman mati berdasarkan jumlah perkara naik hampir dua kali lipat,” ujar Direktur ICJR Supriyadi Widodo dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Minggu (8/10).
Tuntutan pidana mati ini, kata Supriyadi, didominasi perkara narkotik, disusul pembunuhan, dan persetubuhan dengan anak yang masuk dalam ketentuan Perppu Kebiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Supriyadi mengatakan, tuntutan dan putusan pidana mati terkait Perppu Kebiri termasuk hal baru yang diterapkan hakim sejak 2016.
“Perppu Kebiri sudah mulai dipraktikan dan mulai menjadi tren digunakan penuntut umum dalam dakwaan dan tuntutan,” katanya.
Peningkatan jumlah ini, menurutnya, mulai mengkhawatirkan karena proses eksekusi mati yang dilakukan Kejaksaan Agung masih melanggar prinsip keadilan dan hak asasi manusia (HAM).
Salah satunya seperti yang terjadi pada terpidana mati kasus narkotik Humprey Ejike Jefferson yang dieksekusi pada Juli 2016. Supriyadi mengatakan, Humprey saat itu masih mengajukan grasi kepada Presiden Jokowi.
Sesuai ketentuan dalam UU Grasi, terpidana mati, kuasa hukum, atau keluarga terpidana mati yang mengajukan permohonan grasi tidak dapat melaksanakan pidana mati sebelum Keppres tentang penolakan permohonan grasi diterima terpidana.
“Dan masih banyak lagi pelaksanaan hukuman mati yang selama ini ternyata melanggar ketentuan,” tuturnya.
Pihaknya mendesak Presiden
Jokowi agar segera melakukan moratorium atas eksekusi hukuman mati di Indonesia. Apalagi dari hasil pertemuan Universal Periodic Review (UPR) dalam sidang Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Indonesia menerima rekomendasi dari sejumlah negara yang meminta agar menghentikan sementara pelaksanaan hukuman mati. Selama proses moratorium itu, Supriyadi menyarankan presiden mengevaluasi jaksa agung sebagai pihak yang berwenang melakukan eksekusi mati.
“Dalam kondisi tidak pasti dan keraguan terkait eksekusi mati, maka pemerintah sebaiknya segera melakukan moratorium untuk menghindari semakin besarnya potensi pelanggaran hak asasi manusia,” ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, staf ahli Deputi V Kantor Staf Presiden Ifdhal Kasim mengakui tren pelaksanaan hukuman mati meningkat di bawah pemerintahan Presiden Jokowi. Namun ia tak merinci berapa jumlah tuntutan dan eksekusi hukuman mati pada pemerintahan sebelumnya.
“Tiga tahun pemerintahan ini kita menyaksikan eksekusi yang sangat tinggi dibandingkan pemerintahan Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) selama dua periode,” ucapnya.
Ifdhal mengatakan, kebijakan hukuman mati tetap akan dipertahankan pemerintah sebagai cara yang paling efektif untuk mengatasi tingginya peredaran narkotika.
Menurutnya, masih sulit bagi Indonesia untuk mengubah pola pikir penerapan penegakan
hukuman mati dengan mendasarkan pada dasar negara Pancasila.
“Ini kelihatan memerlukan waktu yang panjang, kita masih sangat pragmatis,” ucapnya.
(djm/djm)