Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa Penuntut Umum mendakwa auditor utama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rochmadi Saptogiri menerima suap Rp240 juta dari dua pejabat Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Sugito dan Jarot Budi Prabowo.
Uang itu diduga sebagai pelicin Rochmadi agar memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Kemendes tahun anggaran 2016.
“Terdakwa menerima hadiah atau janji berupa uang dari Sugito yang diserahkan oleh Jarot secara bertahap melalui Ali Sadli sebesar Rp240 juta," ujar Jaksa Ali Fikri saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (18/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suap bermula ketika dilakukan pertemuan antara Sugito dengan Sekretaris Jenderal Kemendes Anwar Sanusi dan salah satu auditor BPK Choirul Anam di ruang kerja Anwar pada April 2017.
Pada pertemuan itu, Anam menyarankan agar Rochmadi dan Ali diberi sejumlah uang karena telah memberikan opini WTP bagi Kemendes dengan mengucapkan, "Itu Pak Ali dan Pak Rochmadi tolong atensinya."
Saran itu ditanggapi Anwar dengan menanyakan berapa jumlah yang harus diberikan dan dijawab Choirul, "Sekitar Rp250 juta." Sugito pun menyanggupinya dengan mengadakan pertemuan bersama jajaran sekretaris di direktorat jenderal, badan, inspektorat jenderal, dan karo keuangan Kemendes.
"Sugito kemudian meminta atensi dari seluruh Unit Kerja Eselon I berupa pemberian uang dengan jumlah Rp200 juta hingga Rp300 juta,” kata jaksa.
Setelah uang terkumpul, Sugito menyampaikan pada Ali Sadli bahwa Jarot akan menyerahkan uang hasil patungan tersebut. Jarot menyerahkan uang tahap pertama sebesar Rp200 juta melalui Ali Sadli yang kemudian disimpan di brankas pribadi ruang kerja Rochmadi.
 Pejabat Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Sugito. (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa) |
Sementara sisa uang Rp40 juta kembali diserahkan Jarot kepada Ali Sadli yang berasal dari patungan Ditjen Pembangunan Daerah Tertinggal sebesar Rp35 juta dan uang pribadi Jarot Rp5 juta.
Selain menerima suap, Rochmadi juga didakwa menerima gratifikasi senilai Rp3,5 miliar sejak Desember 2014 hingga Januari 2015. Penerimaan gratifikasi ini tak pernah dilaporkan Rochmadi ke KPK sampai batas waktu 30 hari terhitung sejak tanggal gratifikasi itu diterima.
“Perbuatan terdakwa menerima gratifikasi harus dianggap suap karena berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajibannya selaku penyelenggara negara,” katanya.
Atas dakwaan jaksa, Rochmadi mengajukan eksepsi atau nota keberatan. “Kami sepakat mengajukan eksepsi yang mulia,” ucapnya.
Rochmadi didakwa melanggar Pasal 12 ayat 1 huruf a atau Pasal 12 ayat 1 huruf b atau Pasal 11 dan pasal 12 B UU 31/1999 sebagaimana diubah dalam UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.