Jakarta, CNN Indonesia -- Dikabulkannya gugatan uji materi UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) membuka harapan baru tentang pekerjaan dan pengurusan administrasi yang lebih mudah dan merasa lebih diakui. Selama ini, penghayat kepercayaan merasa terpinggirkan akibat kebijakan kolom agama di e-KTP itu.
Arnol Purba, penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak, semringah atas kepastian hukum ini. Setelah hampir satu tahun menanti, keinginannya untuk mencantumkan tulisan 'penghayat kepercayaan' di kolom agama di e-KTP disahkan secara hukum. Pintu rezeki keluarga diharapkan semakin terbuka.
Hal itu dikarenakan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan gugatan Pasal 61 Ayat (1) dan (2) UU No. 23 Tahun 2006 tentang Adminduk juncto Pasal 64 Ayat (1) dan (5) UU No. 24 Tahun 2013 tentang UU Adminduk, pada Selasa (7/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami sangat senang karena kepercayaan itu akhirnya diakui pemerintah, dan ruang lingkup untuk pekerjaan anak-anak saya nanti bisa lebih terbuka," ujar Arnol, di gedung MK, Jakarta, Selasa (7/11).
Gugatan uji materi itu sendiri diajukan Arnol bersama sejumlah penghayat kepercayaan lainnya. Mereka, yakni Ngaay Mehang Tana (penganut kepercayaan Komunitas Marapu), Pagar Demanra Sirait (penganut Paralim), dan Carlim (penganut Sapto Darmo).
Arnol melanjutkan, selama ini dirinya merasa didiskriminasi karena keterbatasan pilihan agama dalam pengisian kolom agama di e-KTP. Pemerintah sejak lama mengakui hanya enam agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Sementara, penghayat kepercayaan hanya mengisinya dengan tanda garis atau setrip (-).
Hal itu berbuntut panjang. Peristiwa tak menyenangkan pernah menimpa anaknya, Dessy Purba. Ia ditolak saat melamar pekerjaan akibat tanda setrip di kolom agama di e-KTP. Padahal, nilai dan prestasi anaknya terbilang bagus.
"Calon pemberi kerja menganggap bahwa (tanda) setrip identik dengan ateis atau kafir. Dia jadi kesulitan karena perusahaan mempersoalkan tanda strip itu," jelas dia.
Dalam beberapa laman pekerjaan daring, lanjut Arnol, kolom agama pelamar tidak memiliki opsi 'penganut kepercayaan'. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan masih dianggap belum setara dengan agama lainnya di Indonesia.
"Kami mohon pada Kemenaker (Kementerian Tenaga Kerja), (kolom agama) dibuka secara umum agar anak-anak yang mencari pekerjaan tidak terdiskriminasi seperti itu," ujar dia.
 Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna (kiri) dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati (kanan) bertanya kepada saksi warga penghayat kepercayaan Marapu dari Sumba Timur, Kalendi Nggalu Amah pada sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (23/1). ( Foto: ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf) |
Pengalaman diskriminatif juga pernah dialami penganut kepercayaan Sunda Wiwitan, Nana Kuryana. Ia mengaku mendapat perlakuan tak menyenangkan tiap mengurus adminstrasi di kantor pemerintah karena kolom agama yang bertanda strip.
"Ya petugas tetap melayani tapi dengan ekspresi seperti itu. Karena dalam persepsi mereka agama cuma enam yang diakui negara," aku dia.
Hal senada sempat diutarakan Tetua Badui Dalam Kampung Cibeo, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Ayah Mursid, di lebak, di Lebak, Selasa (22/8). Ia meminta pemerintah mencantumkam agama lokal "Selam Sunda Wiwitan" yang dianut warga Badui pada kolom e-KTP.
Menurutnya, masyarakat Badui bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), namun kepercayaan yang dianut rakyatnya belum diakui dalam kolom e-KTP. Dengan tidak tercantum agama itu, menurut dia, seolah-olah masyarakat Badui tidak memiliki agama.
Masyarakat Badui saat ini berjumlah sekitar 11.699 jiwa. Sejak 1970 hingga 2010 kepercayaan mereka tertulis pada kolom KTP. Saat ini kolom agama yang dicantumkan pada KTP hanya agama resmi yang diakui pemerintah, yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Kuasa hukum pemohon, Judianto Simanjuntak, mengapresiasi putusan MK yang mengabulkan gugatan para penganut kepercayaan. Ia berharap pemerintah dapat memfasilitasi pengisian kolom agama di e-KTP tanpa ada diskriminasi.
"Tinggal bagaimana implementasinya di Dinas Dukcapil. Kami harap dengan keputusan MK para aparat pemerintah di mana pun berada menghormati putusan MK karena final dan berkekuatan hukum tetap," tutupnya.
Uji materi ini sebelumnya diajukan karena para pemohon merasa ketentuan dalam UU Adminduk bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil dalam menjalankan ibadah dan kepercayaan masing-masing.
(arh/osc)