Jakarta, CNN Indonesia -- Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menolak menjelaskan objek perkara dalam kasus dugaan tindak pidana pembuatan surat palsu dan penyalahgunaan wewenang dengan terlapor dua pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang dan Agus Rahardjo.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengatakan, objek perkara tersebut merupakan substansi penyidikan yang tidak bisa diungkapkan ke publik.
Ia hanya menegaskan, kasus ini terkait dugaan tindak pidana sebagaimana sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Itu mungkin nanti masuk di dalam substansi, tapi intinya yang dipersangkakan adalah Pasal 263 KUHP. Detailnya, saya tidak bisa mengungkapkan di sini dan masuk dalam substansi penyidikan,” kata Setyo di Markas Besar Polri, Jakarta Selatan, Kamis (9/11).
Pasal 263 KUHP ayat (1) menyatakan, Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
Setya juga enggan membeberkan peran Agus sebagai pihak yang ikut terlapor dalam dugaan tindak pidana ini.
Menurutnya, peran Agus akan diketahui setelah penyidik melakukan proses pemeriksaan lebih lanjut.
“Nanti tunggu pemeriksaan, penyidik yang menentukan nanti,” kata jenderal bintang dua itu.
SPDP kepada Saut dan Agus diterbitkan Selasa (7/11) dan ditandatangani Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Brigjen Herry Rudolf Nahak. Dalam SPDP itu tertulis penyidik telah menemukan dugaan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan atau Pasal 421 KUHP.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, pihaknya belum mengetahui objek laporan dugaan tindak pidana yang bermula dari laporan tim kuasa hukum Ketua DPR RI Setya Novanto, Sandi Kurniawan tersebut.
Jika yang dipersoalkan adalah surat permohonan pencegahan ke luar negeri terhadap Setnov, Febri mengatakan, hal tersebut merupakan bagian dari kewenangan KPK.
Kewenangan itu merujuk pada Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang KPK. Dalam pasal itu disebutkan, lembaga antirasuah berwenang untuk 'Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri.'
Febri mengingatkan kepolisian tentang ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur proses penyidikan, penuntutan dan persidangan kasus tindak pidana korupsi harus didahulukan penanganannya dibanding dengan perkara yang lainnya.
"Karena kita semua punya komitmen dan konsistensi dalam pemberantasan korupsi. Saya kira sesuai Pasal 25 UU Tipikor, bagaimana penanganan kasus korupsi diselesaikan terlebih dahulu," ujarnya.
Pencegahan yang dilakukan KPK terhadap Setnov masih masuk dalam penyidikan kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP dengan tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo. Setnov dicegah berpergian ke luar negeri untuk enam bulan ke depan, sampai awal April 2018.
(ugo/djm)