Jakarta, CNN Indonesia -- Revisi Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan belum dapat dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2018 karena terganjal penomoran.
Hingga saat ini, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas yang telah disahkan oleh DPR menjadi Undang-undang belum memliki nomor.
"UU Ormas ini belum dinomori. Kalau mau masuk Prolegnas cepat-cepat harus dinomori dulu," kata Anggota Komisi III Arsul Sani, di Jakarta, Senin (20/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kata dia, ada beberapa fraksi di DPR yang telah mengajukan revisi UU Ormas.
Asrul mengatakan, sebenarnya sudah ada satu tempat untuk memasukan revisi UU Ormas ke Prolegnas 2018.
Menurut Arsul, jika UU Ormas sudah memiliki nomor, maka revisi dapat dimasukan ke dalam Prolegnas.
"Begitu UU eks Peppu Ormas ada nomornya, maka akan langsung masuk menggantikan RUU tentang Pelindungan Tenaga Kerja di luar negeri," ungkapnya.
Arsul menambahkan ada kesepakatan antara DPR dengan pemerintah bahwa sebelum ada nomornya, UU Ormas tidak dibahas revisinya. Namun, setelah nomor itu ada maka hal tersebut dapat berubah.
"Itu sudah jadi kesepakatan bersama DPR dengan Pemerintah," katanya.
[Gambas:Video CNN]Membahayakan DemokrasiDirektur Imparsial Al Araf menilai UU Ormas membahayakan demokrasi dan harus segera direvisi.
UU tersebut, kata Al Araf, berpotensi memunculkan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan tertentu (
abuse of power) oleh pemerintah terhadap komponen masyarakat sipil.
"UU Ormas telah membuka ruang pembubaran ormas langsung oleh pemerintah. Ini berpotensi membuka
abuse of power. Iya kalau pemerintah sekarang baik, kalau besok enggak baik gimana, berbahaya," ujarnya.
Ia mengatakan penerapan UU Ormas ini tak hanya berdampak di level nasional, namun bisa berdampak hingga ke level lokal.
Al Araf menghawatirkan para kepala daerah dapat dengan mudah memberangus gerakan masyarakat sipil di berbagai daerah yang kritis terhadap pemerintah setempat menggunakan UU Ormas.
"Di daerah banyak organisasi masyarakat sipil yang kritis, semisal seperti gerakan antikorupsi di sana banyak, takutnya gubernur atau bupati kalau tidak suka bisa membubarkan mereka sewenang-wenang pakai UU ini," tambahnya.
Al Araf mengatakan, beberapa poin yang harus direvisi dalam peraturan ini diantaranya tentang mekanisme pembubaran Ormas dari pemerintah menjadi kewenangan pengadilan, serta otoritas penafsir terhadap Ormas yang melanggar pancasila yang harus diperketat definisinya.
"Saya mendesak proses pembubaran harus digeser dari pemerintah menjadi ke pengadilan. Alasan pembubaran harus diperketat sehingga tak menjadi multitafsir," katanya.
(ugo/gil)