Warga diminta mengosongkan rumah mereka oleh pihak Angkasa Pura I didampingi kepolisian untuk kemudian rumah itu diratakan dengan tanah untuk dibangun Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) atau Bandara Kulon Progo.
Dalam peristiwa Selasa pagi itu aparat kepolisian dari Polres Kulon Progo menangkap 12 mahasiwa, kemudian sore harinya kembali menangkap tiga mahasiwa karena ikut terlibat dalam aksi penolakan tersebut.
YLBHI mengecam penangkapan itu dan menyebutnya sebagai tindak kriminalisasi terhadap kemanusiaan dan pengkhianatan terhadap negara hukum Indonesia.
"Pembangunan seharusnya meningkatkan kualitas hidup rakyat, bukan justru menempatkan rakyat di posisi lebih buruk," kata Ketua Umum YLBHI Asfinawati dalam pernyataan singkat yang diterima
CNNIndonesia.com.
Kritik juga disampaikan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Tidak Kekerasan (KontraS).
Selain mendesak pembebasan 15 mahasiswa tersebut, KontraS juga meminta Kapolda DIY memerintahkan anggotanya menghentikan segala bentuk tindakan-tindakan intimidatif dan provokatif terhadap warga.
Koordinator KontraS, Yati Andriyani menilai telah terjadi sejumlah pelanggaran hukum dan HAM dalam peristiwa tersebut, di antaranya pelanggaran terhadap pasal 100 Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan pasal 351 KUHAP tentang tindakan penganiayaan.
Pelanggaran lain adalah terhadap Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaran Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru-Hara.
KontraS berpendapat tidak ada alasan bagi aparat kepolisian untuk menggunakan kekuatan berlebih serta penangkapan sewenang-wenang dalam peristiwa tersebut.
Kepada Pemprov DIY, KontraS berharap dalam melakukan negosiasi dan sosialiasi pengosongan rumah warga, pemerintah DIY melakukannya berdasarkan peraturan perundangan-undangan serta mengedepankan dialog dengan warga.
Lembaga negara seperti Komnas HAM maupun Ombudsman juga bisa dilibatkan sebagai mediator dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
"Untuk mencegah terjadinya bentuk pelanggaran HAM dan menjamin pemenuhan terhadap hak-hak warga penggusuran," tutur Yati.
Upaya pengosongan rumah warga yang nantinya akan dibangun Bandara Kulon Progo telah dilakukan sejak 27 November.
Sampai saat ini, masih ada puluhan aset, baik rumah maupun lahan yang dimiliki warga penolak bandara.
Pihak AP I mendasarkan pengosongan rumah itu pada putusan Pengadilan Negeri Wates tentang ganti rugi rumah milik warga melalui proses konsinyasi. Namun, warga memandang konsinyasi tidak sah karena ada mekanisme yang belum dilakukan oleh AP I.
Dalam prosesnya, upaya pengosongan rumah warga kerap diwarnai kericuhan antara aparat keamanan dengan warga yang masih memilih bertahan di rumah masing-masing.
Terpisah, Kabid Humas Polda DIY AKBP Yulianto menyatakan Polres Kulon Progo telah memulangkan 15 mahasiswa yang ditangkap. Pemulangan dilakukan setelah belasan mahasiswa itu menjalani proses pemeriksaan dan pendataan.
"Selanjutnya mereka diperbolehkan pulang," ujar Yulianto kepada
CNNIndonesia.com.