Jakarta, CNN Indonesia -- Mudjiono, seorang pemilik rumah makan di Pantai Glagah rela meninggalkan lokasi usahanya di Kulon Progo, Yogyakarta. Dia terpaksa menyingkir dengan sejumlah kompensasi karena lahan tempatnya mencari nafkah dijadikan lokasi pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta Baru.
Sebelum tersingkir, kata Mudjiono, omzetnya bisa mencapai Rp1 juta per hari. Namun, dia menyadari selama ini hanya menumpang di lahan kosong milik Puro Pakualaman yang berada di area dekat pantai.
"Kalau misalnya yang punya hak milik sertifikat itu hak milik masyarakat, sampai hari ini pun yang belum mau transaksi itu ada, yang punya rumah, tapi yang pasti status hukum mereka jelas," kata Mudjiono kepada
CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Mudjiono, area hotel maupun rumah makan tak bisa menolak pindah karena tidak memiliki pegangan legal standing. Ada pula lahan tambak dan pertanian milik warga yang tidak mencapai titik temu pemberian kompensasi dan kalah di meja hijau.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 15 kantor LBH se-Indonesia mengecam eksekusi yang dilakukan pada 4 Desember lalu.
PT Angkasa Pura I dinilai telah mengabaikan tiga hal mendasar dalam pengosongan lahan dan rumah warga untuk pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo.
"Kami tak habis pikir dengan langkah yang diambil oleh PT. Angkasa Pura I tersebut. Entah disadari atau tidak, sesungguhnya terdapat hal-hal mendasar yang diabaikan begitu saja," dikutip dari keterangan resmi YLBHI.
Pertama, izin lingkungan yang terbit pada 17 Oktober lalu dinilai cacat karena studi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) tidak sahih secara hukum.
YLBHI menilai, secara substansial dari aspek pelingkupan, muatan tentang kesesuaian lokasi rencana usaha dan atau kegiatan dengan rencana tata ruang sesuai ketentuan peraturan perundangan tidak terpenuhi.
NYIA dinilai tidak layak dibangun di Kulon Progo karena deskripsi rona lingkungan hidup awal (environmental setting) pada dasarnya merupakan kawasan rawan bencana alam tsunami (kawasan lindung geologi).
Sementara secara prosedural, YLBHI menyoroti proses studi amdal tidak dilakukan sebagaimana mestinya, karena ada tahapan yang dilompati oleh pihak Angkasa Pura.
 Izin lingkungan dinilai cacat karena studi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) tidak sahih secara hukum. (CNN Indonesia/Hendrawan Setiawan) |
Amdal tidak disusun terlebih dulu sebagai prasyarat untuk menerbitkan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor 68/KEP/2015 tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Bandara Untuk Pengembangan Bandara Baru di DIY (IPL).
Justru yang terjadi melompat jauh ke tahapan peletakan batu pertama atau groundbreaking, bahkan sudah masuk ke tahapan kontruksi (mobilisasi alat).
Hal kedua yang diabaikan, menurut YLBHI, berbagai peraturan tidak 'mewasiatkan' pembangunan bandar udara baru di Kulon Progo. Beberapa aturan itu di antaranya PP Nomor 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-Bali, hingga peraturan perundang-undangan yang lebih rendah seperti Perda Provinsi DIY Nomor 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DIY tahun 2009-2029.
"Yang ada ialah pengembangan dan pemantapan fungsi Bandara Adi Sucipto yang terpadu atau satu kesatuan sistem dengan Bandara Adi Sumarmo, di Kabupaten Boyolali," katanya.
Ketiga, YLBHI menilai ada resiko bahaya tinggi dari pembangunan bandara di Kulon Progo. Sebab, bandara ini disebut berdiri di atas kawasan rawan gempa dan bencana tsunami.
Hal ini sesuai Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali yang menyebutkan Kulon Progo menjadi salah satu wilayah yang ditetapkan sebagai zona rawan bencana alam geologi.
Bertolak dari hal tersebut, YLBHI melayangkan kecaman keras terhadap langkah yang diambil Angkasa Pura I dalam melakukan upaya pengosongan paksa.
Tindakan yang dilakukan dengan menggunakan upaya paksa melalui mobilisasi aparat negara, menggunakan alat berat, dan disertai pemutusan akses aliran listrik tersebut dinilai sebagai tindakan represif dan bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
YLBHI pun mendesak Presiden Joko Widodo, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi DIY, Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, dan Angkasa Pura 1 untuk menghentikan seluruh aktivitas pengosongan paksa terhadap lahan dan rumah-rumah warga.
Kantor bantuan hukum itu juga menuntut penghentian seluruh tahapan pengadaan tanah untuk pembangunan New Yogyakarta International Airport Kulonprogo, dan mengembalikan hak-hak warga pada kondisi semula.
Pihak Angkasa Pura I sementara itu belum dapat dikonfirmasi untuk menanggapi tudingan dari YLBHI.
[Gambas:Video CNN] (pmg/gil)