Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Evi Laila mempertanyakan bukti yang diajukan tim kuasa hukum Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) dalam sidang praperadilan.
Bukti tersebut adalah Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap KPK pada tahun 2009-2011 tentang kinerja dengan nomor 115/HP/XIV/12/2013.
“Kami ingin menanyakan atau bisa dijadikan catatan panitera, bagaimana proses permintaan LHP ini. Karena dari bukti pemohon sebanyak 41 bukti, kami gak lihat ada surat permintaan dan surat jawaban atau surat tanggapan dari BPK,” kata Evi saat sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Jaksel), Jumat (8/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Evi juga mempertanyakan bukti berupa LHP BPK terhadap KPK tahun 2016 mengenai laporan keuangan. Menurutnya laporan keuangan merupakan dokumen internal antara KPK dengan BPK.
Selain itu, Evi mempertanyakan surat pemberhentian dengan hormat penyidik Ambarita Damanik dari Polri pada tahun 2014 yang dijadikan bukti.
Menurutnya, surat tersebut merupakan rahasia antara KPK dengan Polri yang ditujukan secara spesifik pada orang yang bersangkutan.
“Mohon dicatat bagaimana perolehan surat tersebut. Surat itu ditujukan spesifik kepada orang yang bersangkutan, tidak pada umum,” kata Evi.
Hakim Tunggal Kusno mengatakan pertanyaan itu tidak perlu dijawab tim kuasa hukum Setnov. Pasalnya hakim praperadilan hanya berwenang menerima bukti tanpa menanyakan asal bukti tersebut.
“Itu ditanyakan ke instansi yang menyampaikan bukti, kalau berkaitan dengan BPK bisa tanya ke BPK, kalau berkaitan dengan Polri bisa tanya ke Polri. Kami hanya sebatas bertanya bukti itu asli atau tidak asli,” kata Kusno.
Usai sidang, Kuasa Hukum Setnov, Ketut Mulya Arsana mengatakan bukti LHP BPK diperoleh secara resmi seperti saat diajukan pada praperadilan jilid satu. Menurutnya bukti itu tidak bermasalah karena laporan BPK merupakan informasi yang bisa diakses publik.
Kemudian, kata Ketut, surat pemberhantian Ambarita Damanik didapat dari berkas bukti praperadilan mantan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Hadi Poernomo.
Hadi ditetapkan sebagai tersangka penyalahgunaan wewenang atas keberatan pajak PT Bank Central Asia (BCA) sebanyak Rp 5,7 triliun pada 1999.
Hadi yang saat itu menjabat sebagai dirjen pajak Kementerian Keuangan diduga mengubah keputusan sehingga merugikan negara Rp 375 miliar.
Keberatan atas penetapan tersangka, Hadi mengajukan praperadilan ke PN Jaksel. Pada 26 Mei 2015 Hakim Tunggal Haswandi mengabulkan permohonan Hadi serta mencabut statusnya sebagai tersangka dengan nomor putusan 36/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
“Seharusnya kan tidak perlu dipermasalahkan lagi, karena surat itu sudah pernah keluar di kasusnya Pak Hadi Purnomo. Artinya, kan, bicara dari
copy ke
copy, kita kan gak bicara aslinya,” kata Ketut.
Berdasarkan pantauan
CNNIndonesia.com, KPK dalam sidang praperadilan hari ini membawa bukti dalam empat kardus dan satu koper. Kurang lebih kardus memiliki lebar 20 centimeter, panjang 40 centimeter dan tinggi 30 centimeter. Sedangkan koper memiliki ukuran lebar 20 centimeter, panjang 35 centimeter dan tinggi 50 centimeter.
Bukti itu jauh berbeda dengan yang dibawa KPK saat praperadilan pada September lalu. Kala itu KPK membawa bukti dalam 16 kardus dengan total kurang lebih 270 dokumen.
Sementara, tim kuasa hukum Setnov membawa bukti dalam dua koper. Dua koper itu memiliki ukuran yang tak jauh berbeda, kurang lebih memiliki lebar 25 centimeter, panjang 35 centimeter dan tinggi 50 centimeter.
Bukti itu berbeda dengan bukti yang dibawa saat praperadilan lalu. Kala itu tim kuasa hukum Setnov membawa bukti berupa beberapa jilid bukti yang total tebalnya tidak mencapai 15 cm.
(wis)