Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Kwik Kian Gie telah rampung diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) beberapa tahun silam.
Kwik diperiksa terkait adanya penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Dalam kesempatan tersebut, Kwik mengatakan, sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dirinya mendukung lembaga antirasuah terus mengusut kasus dugaan korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga Rp4,58 triliun tersebut.
"Hanya pokoknya yang paling inti adalah sebagai kader PDIP saya sangat mendukung KPK dalam kasus ini," kata Kwik usai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Senin (11/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kwik mengaku dicecar sejumlah pertanyaan oleh penyidik KPK terkait posisi dirinya sebagai Menko Ekonomi, Keuangan, dan Industri serta Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) ketika Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengeluarkan SKL BLBI.
"Hal yang ditanyakan pada saya adalah apa semua yang saya putuskan dan kebijakan apa yang saya ambil ketika saya menjabat sebagai Menko dan sekaligus Ketua KKSK. Itu yang ditanyakan," tuturnya.
Menurut dia, pertanyaan yang disampaikan penyidik KPK sama seperti pada pemeriksaan sebelumnya. Kwik diperiksa sebagai saksi untuk mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung selaku tersangka dalam kasus tersebut.
"Ya betul (mengulang pertanyaan pada pemeriksaan sebelumnya). Fakta-faktanya apa betul saya mengambil keputusan seperti itu," ujarnya.
Saat disinggung soal kerugian negara membengkak dalam kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI itu setelah adanya audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kwik enggan berkomentar. Menurutnya, hal tersebut merupakan materi yang nantinya akan diungkap di persidangan.
"Materi inti saya tidak akan mengemukakan, karena saya tidak mau mendahului apa-apa yang akan muncul di pengadilan. Itu tidak
fair untuk semua pihak," kata mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) itu.
(lav)