Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Partai Golkar terpilih, Airlangga Hartarto, punya sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan demi mencegah 'Beringin' ambruk. Di antaranya, persoalan korupsi, konsolidasi, dan rekomendasi calon kepala daerah.
Untuk menyelesaikan segudang PR tersebut, Airlangga disarankan melepas jabatan menteri perindustrian agar lebih leluasa mengurus partai.
Direktur Eksekutif Vox Populi Center Pangi Syarwi Chaniago menilai, mundur dari posisi menteri merupakan jalan pembuka bagi Airlangga menyelesaikan PR-nya. Dengan fokus membenahi partai, Airlangga bisa menegaskan pembeda dirinya dengan pemimpin Golkar sebelumnya, Setya Novanto, yang kontroversial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang pasti bagaimana Airlangga harus berhenti jadi menteri, supaya fokus menyelamatkan Golkar. Airlangga Hartarto harus beda dengan Ketua Umum Golkar sebelumnya," kata Pangi, kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (14/12).
Melepas rangkap jabatan juga berkaitan dengan konsistensi kepemimpinan di mata publik.
Presiden Joko Widodo, kata Pangi, sebelumnya pernah menyatakan tentang larangan menteri menjabat posisi tertentu di partai. Kepatuhan pada aturan tak tertulis itu tetap penting bagi Airlangga. Sebab, komitmen itu berdampak pula kepada Airlangga, selain kepada Jokowi.
"Karena pemimpin itu sederhana, yang dipegang kata-katanya dan perbuatannya," ucapnya.
Persoalan korupsi dianggap memicu keruntuhan elektabilitas partai. Itu ditandai dengan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP yang menyeret Setnov sebagai pemimpin Golkar sebelumnya.
Untuk membenahinya, menurut Pangi, Airlangga harus pandai memainkan isu antikorupsi dengan ketegasan sikap saat memimpin kelak.
"Kalau ada kader tersangka, maka harus mundur dari jabatannya dan dipecat dari kader Golkar. Itu langkah memulihkan kepercayaan publik bahwa Golkar punya itikad baik," saran dia.
Dalam soliditas partai, Airlangga kini dituntut membangun konsolidasi dan solidaritas antarpengurus. Jika sukses, itu akan mengefektifkan kembali mesin partai guna memenangkan calon-calon pemimpin yang diusung partai.
Sementara untuk urusan polemik kandidat kepala daerah, pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Idil Akbar berpendapat, Airlangga harus segera meninjau kembali surat-surat rekomendasi dukungan calon Kepala Daerah yang sudah diterbitkan pada masa kepemimpinan Setnov.
Peninjauan kembali rekomendasi itu, lanjut Idil, berorientasi pada kepentingan partai di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Periode tahun politik tersebut akan menjadi pertaruhan Airlangga sebagai Ketua Umum.
Pengusungan kandidat kepala daerah yang memicu kontroversi dalam hal ini berkaitan dengan Pilkada Jawa Barat 2018. DPP Partai Golkar mengusung Ridwan Kamil, yang bukan merupakan kader partai, sebagai kandidat Gubernur Jawa Barat.
Padahal, Ketua DPD I Partai Golkar Dedi Mulyadi sebelumnya sudah disepakati di internal partai melalui rangkaian proses rapat sebagai calon.
(arh/gil)