'Isu SARA Lebih Bahaya Dibandingkan Politik Uang'

Dinda Audriene Muthmainah | CNN Indonesia
Selasa, 26 Des 2017 16:45 WIB
Karena memecah belah masyarakat dalam jangka panjang, politik SARA dinilai lebih berbahaya dari politik uang. Perbaikan regulasi pun didorong.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti (kiri). Ia menyebut, politik SARA lebih berbahaya ketimbang politik uang. (Foto: Hafidz Mubarak A)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dampak dari keberadaan penggunaan isu Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) dalam Pilkada atau Pemilu dinilai lebih berbahaya dibandingkan politik uang. Sebab, isu SARA bisa memecah belah masyarakat meski perkembangan pesat demokrasi sudah berlalu.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti mengungkapkan, imbas dari politik uang umumnya tidak berkepanjangan seperti isu SARA. Contohnya, kasus Pilkada DKI Jakarta yang masih terasa hingga saat ini.

"Masyarakat terbelah karena isu SARA. Setidaknya ini terlihat dari Pilkada DKI Jakarta, efeknya panjang," ungkapnya, di Jakarta, Selasa (26/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ray memprediksi, isu SARA masih berkembang dan mewarnai peta politik Pilkada 2018 hingga Pilpres 2019. Beberapa daerah yang berpotensi terkena isu SARA di antaranya adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatra Utara.

"Makanya perlu antisipasi, karena SARA ini semacam ada legalisasinya," sambung dia.

Sebab, sebagian besar pihak yang menggunakan isu SARA dalam mendukung calon kontestan politiknya seringkali merasa hal itu sebagai bentuk pelaksanaan ajaran agamanya.

"Jadi seperti mengamalkan kepercayaannya," imbuh Ray.

Masalahnya, belum ada definisi yang disepakati bersama tentang 'politik SARA'. Ray menyarankan, definisi terkait SARA perlu diperjelas sehingga kontestan politik dan masyarakat bisa membedakan mana saja perilaku atau kalimat yang mengandung politik SARA.

"Kegamangan ini belum diselesaikan. SARA memang jelas dilarang dalam UU Pilkada atau Pemilu, tidak boleh menghina, tetapi penghinaan seperti apa itu yang belum dirumuskan," jelas dia.

Masalah selanjutnya, sambung dia, adalah lemahnya sanksi terhadap pihak-pihak yang memanfaatkan isu SARA dalam pesta demokrasi. Ray menyebut, sanksi yang diberikan hanya penjara selama satu tahun dan denda Rp 1 juta.

"Mengingat ancaman rendah dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada, makanya isu SARA akan dipakai sedemikian rupa," ungkap dia.

Pada kesempatan yang sama, Komite Pemilih Indonesia (Tepi), Jerry Sumampouw memaparkan, isu SARA yang setidaknya sudah terjadi sejak tahun 2005 ini sebenarnya tidak bisa diselesaikan dengan cara teknis. Selama Pemerintah masih fokus terhadap hal-hal teknis, lanjutnya, masalah SARA dalam politik tak akan terselesaikan.

"Jadi ubah ke substansi jangan hanya teknis," kata Jerry.

Isu SARA pun, lanjutnya, tak hanya terjadi pada Pilkada atau Pemilihan Umum (Pemilu). Isu jenis ini juga digunakan sebagian masyarakat untuk mengkritik pemerintahan. (arh/djm)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER