Pengamat: Perwira TNI-Polri 'Nyalon' Harus Dipensiunkan

Arif Hulwan Muzayyin & Muhammad Andika Putra | CNN Indonesia
Sabtu, 06 Jan 2018 20:24 WIB
Pencopotan jabatan perwira tinggi TNI-Polri yang maju di Pilkada dianggap belum cukup. Pensiun sepenuhnya dari kedinasan jadi jawabannya.
Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto (kedua kiri) dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian (kedua dari kanan), di Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Selasa (12/12). Keterlibatan perwira kedua institusi pemegang senjata itu dalam Pilkada disebut berpotensi memicu penyalahgunaan wewenang. (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kebijakan TNI dan Polri yang mencopot sejumlah perwira tinggi (pati) yang bersiap ikut serta dalam Pilkada serentak 2018 dari jabatannya dianggap belum cukup. Pemberhentian dari kedinasan jadi keharusan. Parpol pun didorong untuk lebih memprioritaskan kader ketimbang perwira.

Peneliti pada Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramdhani mengungkapkan, UU jelas melarang anggota TNI dan Polri untuk ikut serta dalam kegiatan politik praktis. Sementara, pencopotan jabatan hanya tak membuat para pati itu pensiun dari satuannya. Hal itu masih membuka peluang penyalahgunaan wewenang.

"Kalau sekarang mereka (pati-pati) tidak lagi menjabat pimpinan tertentu itukan tidak cukup. Larangan UU itu (adalah) tidak berpolitik praktis. Status mereka masih anggota. Ini sebuah hal yang patut disikapi lebih (dari sekedar pencopotan jabatan)," ujarnya, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Sabtu (6/1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebelumnya, Telegram Rahasia (TR) dengan nomor ST/16/I/2016 mengungkapkan adanya mutasi terhadap tiga pati Polri yang tengah aktif berupaya 'nyalon' di Pilkada 2018.

Mereka adalah Kapolda Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Safaruddin ('nyalon' di Pilgub Kaltim), Wakil Kepala Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Irjen Anton Charliyan (Pilgub Jabar), dan Komandan Korps Brigade Mobil Polri Irjen Murad Ismail (Pilgub Maluku).

Selain itu, Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/12/I/2018 tentang Pemberhentian Dari dan Pengangkatan Dalam Jabatan di Lingkungan TNI, pada Kamis (4/1), Letjen Edy Rahmayadi, yang siap melaju ke Pilgub Sumatra Utara, diberhentikan dari jabatan Pangkostrad dan ditempatkan sebagai pati mabes TNI.

Fadli melanjutkan, larangan berpolitik praktis itu berarti termasuk sejak terjadinya komunikasi untuk menggolkan tujuan menjadi calon kepala daerah. Prakteknya, sejumlah pati Polri dan TNI sudah secara aktif melakukan lobi dan negosiasi dengan tokoh-tokoh parpol sebelum penetapan pasangan calon kepala daerah oleh KPUD. Baginya hal ini jelas pelanggaran UU.

Pakostrad, Letjen TNI Edy RahmayadiPangkostrad Letjen TNI Edy Rahmayadi. Ia sudah didukung oleh Partai Gerindra, PKS, PAN, Partai Golkar, dan Partai Nasdem untuk maju di Pilgub Sumut 2018. (Foto: CNN Indonesia/Arby Rahmat Putratama)
"Akivitas politik praktis bukan hanya setelah ditetapkan jadi calon (kepala daerah). Ketika berkomunikasi dengan partai, ikut bersosialisasi (sebagai) bakal calon, itu aktivitas politik praktis," jelas Fadli.

Contoh terbaru soal kerawanan dugaan penyalahgunaan wewenang itu, kata dia, adalah pemeriksaan terhadap Syaharie Jaang, Cagub di Pilkada Kaltim, oleh Polda Kaltim dalam kasus pencucian uang. Hal itu dilakukan saat Safaruddin, saat masih menjabat Kapolda Kaltim, gagal melobi Syaharie untuk menggandengnya sebagai pendamping di Pilgub Kaltim.

"Kalau ada proses politisasi penegakan hukum ini mengkhawatirkan," kata dia, saat diwawancara CNN Indonesia TV.

Meski sudah ada UU-nya, Fadli menyarankan adanya aturan teknis yang bisa mencegah politik praktis anggota TNI-Polri. "Bisa saja dengan Peraturan Kapolri, kalau ada periwira terlibat aktif dalam Pilkada atau Pilpres harus mundur 6 bulan atau satu tahun sebelum penetapan pasangan calon, misalnya," ucap dia.

Terpisah, Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting Pangi Syarwi Chaniago, melalui keterangan tertulisnya, Sabtu (6/1), mengatakan, belum dipensiunkannya pati yang aktif bersiap jelang Pilkada ini bisa berpotensi penyalahgunaan wewenang.

"Mereka belum wajib pensiun karena belum terdaftar sebagai pasangan calon, namun sudah berselancar dengan melakukan manuver politik dan curi start kampanye terselubung dengan memakai seragam prajurit. Yang tak boleh adalah menggunakan jejaring institusi militernya untuk dijadikan sebagai komoditas politik pemenangan,” cetusnya.

Selain itu, upaya partai-partai politik untuk mengusung para pati, baik TNI maupun Polri, dalam Pilkada dapat membuat parpol semakin tidak dipercaya dan mencerminkan kegagalan kaderisasi. Sebab, faktor figur dari luar lebih dipercaya ketimbang memprioritaskan kader yang dianggap layak.

“Ini soal masa depan partai itu sendiri, wajar kemudian menguat fenomena deparpolisasi karena ulah partai itu sendiri yang tak menghormati kadernya,” kata dia.

Kapolda Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Safaruddin saat ditemui di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (4/1). (CNN Indonesia/Martahan Sohuturon)Kapolda Kalimantan Timur Inspektur Jenderal Safaruddin saat ditemui di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (4/1). Ia disebut sedang berupaya untuk maju di Pilgub Kaltim. (CNN Indonesia/Martahan Sohuturon)

Konsekuensi dari fenomena ini, lanjut Pangi, adalah, pertama, sulitnya mengontrol dan mengawasi kepala daerah non-kader dibandingkan kader partai. Kedua, besarnya potensi kutu loncat alias kecenderungan berpindahnya kader eksternal itu ke partai lain.

Ketiga, ketidaksesuaian ritme kerja pemimpin berlatar TNI-Polri dengan tata cara kerja sipil. Biasanya, kepemimpinan latar belakang sipil dengan pola kerja garis putus putus, egaliter dan berbasis konsensus. Sementara, TNI-Polri terbiasa dengan garis komando yang tegas.

"Sekali lagi partai politik jangan coba-coba bermain mata dengan prajurit aktif, menarik-narik dan menggoda TNI untuk masuk ke gelanggang politik. Termasuk tidak menarik-narik, menggoda atau merayu-rayu Aparatur Sipil Negara ke ranah politik praktis. Ini pertaruhan yang maha berbahaya dan tidak main-main," tandas Pangi.

Menjawab majunya sejumlah perwira dalam Pilkada, Polri dan TNI hanya memberhentikan para pati itu dari jabatannya.

"Telegram ini juga untuk menindaklanjuti beberapa personel Polri yang ikut dalam kontestasi Pilkada tahun ini," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Muhammad Iqbal melalui pesan singkat, Jumat (5/1).

Diketahui, pada UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, Pasal 39 Ayat (2) menyebutkan, "Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis." Pasal 47 Ayat 1 menyatakan, "Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan".

Sementara, pada UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri, Pasal 28 Ayat 1 menyebutkan bahwa "Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis."

Pasal 28 Ayat 3 UU Polri mengatakan, "Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian."
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER