Jakarta, CNN Indonesia -- Meski mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia berpotensi menguat. Sejauh ini, kelompok warga dan ormas keagamaan yang menjadi yang terbanyak sebagai pelaku pelanggaran masih gencar menyebarkan paham intoleran.
Peneliti Setara Institute Halili, di Jakarta, Senin (15/1), mengungkapkan, hasil survei pihaknya mencatat, ada 155 peristiwa pelanggaran KBB dengan 201 aksi/tindakan yang tersebar di 26 provinsi di Indonesia sepanjang 2017.
Meski demikian, angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya yang tercatat mencapai 208 persitiwa dengan 270 aksi tindakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya, di tahun 2017 terjadi penurunan pelanggaran sebanyak 53 peristiwa dan 69 tindakan," ujar Halili di Jakarta.
Aktor nonnegara, seperti individu maupun ormas, masih menjadi pelaku terbanyak aksi, yakni 126 tindakan.
Menurutnya aktor nonnegara yang melakukan pelanggaran KBB adalah kelompok warga dengan 28 aksi, aliansi ormas keagamaan (31 aksi), dan individu (5 aksi).
"Semua tindakan itu masuk dalam kategori tindak pidana, sehingga tak sulit diproses dengan hukum positif," ujar Halili.
Di tempat yang sama, Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, menurunnya angka peristiwa pelanggaran KBB sepanjang 2017 tak memiliki korelasi dengan meredupnya kelompok intoleran.
Bahkan, menurutnya, secara kualitatif tingkat kelompok intoleran di Indonesia menguat. Indikasinya, pertama, masih banyaknya ceramah-ceramah keagamaan yang berisikan ajakan untuk berbuat intoleran dan menyebarkan paham teokrasi atau engara agama.
"Lihat aja pertemuan kegamaan yang mengangkat isu tak menghormati perbedaan, mengkafirkan orang, dan ada semangat teologkrasi dalam segala bidang kehidupan," ujar Bonar.
Kedua, kata dia, penyebaran kebencian dan tak menghargai semangat perbedaan oleh kelompok intoleran di media sosial.
Ketiga, produksi publikasi baik cetak maupun elektronik yang dipelopori kelompok intoleran. Bonar mengatakan, 40 persen buku bernuansa agama yang dijual di toko-toko buku merupakan terbitan kelompok tersebut. Ia juga menyebut banyak radio dakwah yang justru menyebarkan semangat intoleran.
Kristiani Korban MayoritasHalili melanjutkan, umat Kristiani menjadi kelompok minoritas yang paling banyak menjadi korban atas pelanggaran KBB itu. "Tercatat sebanyak 15 kali peristiwa pelanggaran kebebasan beragama sepanjang 2017 telah diterima oleh kelompok kristiani," ujarnya.
Setelah itu, ada kelompok Syiah dengan angka 10 peristiwa pelanggaran KBB, jemaah Ahmadiyah (8 peristiwa), aliran kepercayaan (5 peristiwa), dan umat Katolik, umat Konghucu, umat Buddha, serta umat Hindu yang masing-masing mendapat 3 kasus pelanggaran KBB.
"Bentuk tindakan intoleran yang dilakukan kepada mereka seperti penyesatan, penggrebekan, diskriminasi, intimidasi, penyegelan tempat ibadah, provokasi, ujaran kebencian, dll," ungkap Halili.
Provinsi Jawa Barat, kata dia, menjadi provinsi dengan tingkat pelanggaran KBB tertinggi di Indonesia dengan 29 peristiwa. DKI Jakarta menempati urutan kedua dengan 26 peristiwa, disusul oleh Jawa Tengah (14 perstiwa), Jawa Timur (12 peristiwa), dan Banten (10 peristiwa).
"Provinsi itu ada di Pulau Jawa semua. Ini membuktikan di Pulau Jawa tingkat pelanggaran terhadap KBB sangat tinggi," ujarnya.
Riset ini sendiri dilakukan dengan metode analisis dokumen kebijakan, pengumpulan dan analisis data sekunder,
internal focus group discussion dan wawancara mendalam dengan berbagai otoritas negara, tokoh dan masyarakat yang di tingkat nasional dan daerah.
Bonar menambahkan, peran serta kelompok masyarakat sipil dan kelompok islam moderat, seperti NU dan Muhammadiyah, diharapkan mampu membendung pergerakan kelompok intoleran. Bentuknya, lebih gencar melakukan dakwah islam yang humanis dan moderat di masyarakat.
"Ujung tombaknya ya NU dan Muhammadiyah dan kelompok sipil yang konsen pada persoalan ini, tanpa keterlibatan mereka ini, negara tak bisa banyak berbuat," pungkas dia.
(arh/sur)