Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto telah resmi mengumumkan restrukturisasi kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai beringin masa bakti hingga 2019, Senin (22/1).
Dengan semangat baru yang mengusung slogan 'Golkar Bersih', kepengurusan hasil restrukturisasi ini disebut sebagai perampingan pengurus era Setya Novanto.
Dari sebelumnya total berisi 305 pengurus, DPP Golkar di bawah Airlangga kini tinggal menyisakan 251 pengurus saja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandez menilai meski sudah terjadi perampingan kepengurusan, nyatanya jumlah pengurus Golkar era Airlangga masih gemuk. Menurut dia, Airlangga kesulitan membentuk kepengurusan yang ramping karena berbagai faktor.
"(Kesulitan) karena harus mengakomodasi banyak faksi, dan banyak nama lama," kata Arya kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (23/1).
Berdasarkan Pasal 6 Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar, jumlah pengurus telah diatur sebanyak-banyaknya 117 orang. Dengan total 251 pengurus, maka kepengurusan Golkar saat ini masih jauh dari kata ideal menurut AD/ART partai.
Arya menduga, kepengurusan Airlangga masih gemuk karena akan menghadapi tahun politik 2018 dan 2019. Hal itu terlihat dari struktur bidang pemenangan pemilu yang diberikan porsi besar, terutama di Pulau Jawa.
"Menunjukan struktur pemenangan fokus di wilayah Jawa," katanya.
Hal lain yang cukup menonjol dari kepengurusan Golkar era Airlangga adalah kembalinya jabatan Sekretaris Jenderal ke tangan eks militer. Kini jabatan itu diemban eks Danjen Kopassus Letjen (Purn) TNI Lodewijk Frederich Paulus.
Nama Lodewijk memang masih belum akrab di kancah perpolitikan nasional. Bergabung dengan Golkar dua tahun silam, Lodewijk sempat mencicipi jabatan sebagai Ketua Koordinator Bidang Kajian Strategis di era kepemimpinan Setnov.
Meski jauh dari hingar bingar, peran Lodewijk cukup signifikan, salah satunya disebut sebagai tim perumus kajian internal Golkar yang mengantarkan ke Munaslub Jakarta karena menurunnya elektabilitas partai beringin akibat kasus Setya Novanto.
Selain Lodewijk, aroma militer juga diperlihatkan dengan pembentukan Badan Intelijen, Analisa dan Penggalangan DPP Golkar yang diketuai Letjen (Purn) TNI Eko Wiratmoko.
Golkar dan militer memang tak bisa dilepaskan. Apalagi jika menilik sejarahnya, Golkar memang diisi oleh banyak orang militer sejak era Orde Baru.
Karena itu, menurut Arya, komposisi militer di tubuh Golkar sebetulnya merupakan hal yang wajar.
"Militer basis Partai Golkar yang menjadi salah satu kekuatan politik di internal," ucap Arya.
 Sebagai Ketum Golkar, Airlangga Hartarto dinilai punya tantangan berat, yakni menaikan elektabilitas partai usai merosot karena kasus Setnov. (CNN Indonesia/Safir Makki). |
Tantangan AirlanggaGolkar di era Airlangga memang banyak berubah. Airlangga banyak mengutak-atik sejumlah pos di struktur partai.
Arya menilai, penghapusan struktur ketua harian dan penambahan pos lain misalnya, menjadi tantangan tersendiri bagi Golkar ke depan. Apalagi sejumlah nama baru seperti eks Dirjen Pajak Ken Dwijugisteadi dan eks Komisaris Independen Bank Internasional Indonesia (BII) - kini bernama Maybank, Umar Juaro masuk dalam kepengurusan.
Airlangga sendiri menargetkan kenaikan perolehan kursi DPR dari 91 menjadi 110 kursi. Menurut Arya, target tersebut masih realistis dan bukan tak mungkin akan dapat tercapai.
Namun ada satu hal di mata Arya yang sulit dicapai Golkar saat ini. Target itu adalah menaikan elektabilitas partai yang pernah merosot karena kasus Setnov. Menurut Arya, hal tersebut bukan perkara mudah.
"Setelah penurunan elektabilitas tidak mudah bagi Golkar," ujar dia.
"Saya kira memang kalau lihat kepengurusan, masih banyak nama lama dan banyak nama baru. Saya lihat kepengurusan ini butuh waktu, tapi akan menjadi tantangan bagi Golkar," kata Arya.
(osc/gil)