ANALISIS

Sistem Federasi dan Kekhawatiran Jokowi Hadapi Tahun Politik

Priska Sari Pratiwi | CNN Indonesia
Rabu, 24 Jan 2018 10:33 WIB
Jokowi dinilai mulai terdesak memasuki tahun politik. Sang presiden butuh bantuan kepala-kepala daerah untuk menyelesaikan janji nawacitanya.
Jokowi dinilai mulai terdesak memasuki tahun politik. Jokowi butuh tangan kepala-kepala daerah untuk membantu menyelesaikan nawacitanya. (Biro Pers Setpres/ Rusman).
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo di hadapan seluruh kepala daerah, Selasa (23/1) kemarin, menyatakan bahwa hubungan pemerintah pusat dan daerah harus sinergis dan tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.

Ia menegaskan Indonesia tidak menganut sistem federasi, yakni sistem pemerintahan negara bagian yang memiliki otonomi khusus, sementara pemerintah pusat mengatur hal-hal yang sifatnya nasional.

Jokowi meminta pemerintah pusat dan daerah harus berharmonisasi terutama mengenai kebijakan. Ia khawatir jika masing-masing daerah mengeluarkan aturan sendiri tanpa koordinasi akan menimbulkan perpecahan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pernyataan Jokowi soal federasi tersebut dinilai menunjukkan kekhawatiran sang presiden memasuki tahun politik 2018. Jokowi dinilai mulai terdesak dan butuh bantuan kepala daerah, khususnya dalam mewujudkan janji kampanye saat Pilpres 2014 silam.


Pengamat politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan, masa jabatan Jokowi sebagai presiden akan segera berakhir tahun depan. Sementara pekerjaan rumah untuk menyelesaikan janji kampanyenya terbilang cukup banyak.

Hendri menilai, pernyataan Jokowi ini bukan lagi sekadar imbauan, melainkan permintaan bantuan pada kepala daerah. Menurutnya, Jokowi membutuhkan dukungan dari para kepala daerah untuk merealisasikan program kampanye yang belum terpenuhi.

“Pak Jokowi terdesak karena sudah masuk tahun politik. Apalagi sekarang ini akan dipilih orang (kepala daerah) baru. Mungkin dia sadar masih banyak janji kampanye belum terpenuhi, yang bisa bantu memenuhi ya para pemimpin daerah,” ujar Hendri kepada CNNIndonesia.com.

Janji kampanye yang menjadi prioritas Jokowi di antaranya termasuk sembilan janji nawacita. Pada poin tiga menyebutkan prioritas Jokowi-Jusuf Kalla adalah membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Pada poin tersebut, kata Hendri, jelas menunjukkan kebutuhan Jokowi untuk mendapat dukungan dari pemerintah daerah.

“Itu mau tidak mau harus dapat dukungan dari pemerintah daerah,” katanya.


Terlepas dari kondisi tersebut, Hendri menilai perbedaan kebijakan antara pemerintah pusat dengan daerah sebagai hal yang wajar. Apalagi Indonesia sejatinya menganut sistem otonomi daerah yang memberikan kewenangan bagi daerah untuk mengurus sendiri urusan pemerintahannya.

Perbedaan itu, menurut Hendri, juga terjadi saat Jokowi masih menjabat sebagai Wali Kota Solo. Di bawah pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono saat itu, Jokowi termasuk kepala daerah yang menolak kebijakan SBY menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

“Sama saja sebetulnya (dengan kondisi sekarang). Jadi wajar-wajar saja (Jokowi bicara itu) karena ingin dapat dukungan dari seluruh aparatnya,” ucap Hendri.
Sistem Federasi dan Kekhawatiran Jokowi Hadapi Tahun PolitikJokowi dinilai mulai terdesak memasuki tahun politik. Jokowi butuh tangan kepala-kepala daerah untuk membantu menyelesaikan nawacitanya. (CNN Indonesia/Christie Stefanie).

Jokowi Perlu Hati-hati

Namun ia mengingatkan agar Jokowi berhati-hati dengan ucapannya itu. Menurutnya, pernyataan Jokowi itu berpotensi dimaknai sejumlah pihak sebagai keinginan memperkecil kewenangan otonomi daerah.

“Harus ditelaah lagi, jangan sampai yang dimaksud Pak Jokowi memperkecil ruang otonomi daerah. Tapi ya wajar saja yang disampaikan, dia pengennya apa yang digariskan pusat itu ada di kebijakan daerah,” tuturnya.


Hal senada diungkapkan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio. Menurutnya, pernyataan Jokowi adalah hal yang wajar diungkapkan seorang kepala negara.

Apalagi Agus tak menampik selama ini kerap muncul perbedaan kebijakan antara pemerintah pusat dengan daerah. Perbedaan ini dipengaruhi berbagai faktor yang membuat tiap kebijakan di daerah tak bisa disamaratakan dengan yang berlaku di pemerintah pusat. Bahkan tak jarang terdapat sejumlah kebijakan dari pemerintah pusat yang justru merugikan daerah.

“Banyak daerah yang hasil alamnya justru diambil pusat semua, contoh Kalimantan Timur, Riau. Kemudian Papua juga kan sebenarnya punya kewenangan otonomi khusus. Jadi wajarlah berbeda,” katanya.

Perbedaan itu, kata Agus, juga dipengaruhi faktor politik maupun berbagai kepentingan antara pemerintah pusat dengan daerah. Menurutnya, saat ini yang diperlukan adalah pengaturan yang sinergis dari pemerintah pusat.

“Hubungan pemerintah pusat dan daerah itu asal ada ‘duitnya’ ya gampang, kalau enggak ada duitnya ya enggak ada hubungan. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah pusat me-manage itu,” ucapnya. (osc/gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER