Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDIP Ganjar Pranowo mengatakan, pihaknya tak pernah menerima surat resmi keberatan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) atas proyek pengadaan e-KTP
LKPP, yang saat itu dipimpin Agus Rahardjo, --kini Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pernah menyarankan agar proyek e-KTP milik Kementerian Dalam Negeri dihentikan.
"Sampai hari ini, saya mencoba meingat-ingat, adakah surat itu dari institusi resmi yang namanya LKPP. Sampai hari ini saya coba cari kok enggak ada," kata Ganjar saat bersaksi dalam sidang terdakwa korupsi proyek e-KTP, Setya Novanto, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (8/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gubernur Jawa Tengah yang akan kembali maju dalam Pilkada serentak 2018 itu mengaku tak pernah menerima surat keberatan dari LKPP atas proyek yang ditaksir merugikan negara hingga Rp2,3 triliun. Menurut Ganjar, seharusnya lembaga pemerintah seperti LKPP bisa mengirimkan surat resmi.
"Tapi seingat saya tidak ada. Kalau ini (proyek e-KTP) bahaya, kan LKPP sebagai institusi negara kirim surat resmi saja, surat resmi ini atas nama ini, (ada) bahaya (di proyek e-KTP) dan sebagainya," tuturnya.
Ganjar mengatakan, Kementerian Dalam Negeri sebagai pemilik proyek senilai Rp5,8 triliun itu juga tak pernah mengirimkan surat keberatan atas proyek e-KTP. Menurut dia, Kementerian Dalam Negeri seharusnya mengirimkan surat bila ada permasalahan.
"Kalau keberatan dia tinggal kirim surat aja, enggak usah dikirim barangnya selesai. Sumbernya dari sono (Kementerian Dalam Negeri) kok. Simpel sekali," kata dia.
Pada persidangan sebelumnya, Direktur Penanganan dan Permasalahan Hukum LKPP Setia Budi Arijanta mengaku pernah menyarankan penghentian proses lelang proyek e-KTP dihentikan. Namun, Setia mengaku kena 'semprot' mantan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi karena saran LKPP tersebut.
LKPP menilai sejak awal telah menemukan penyimpangan dalam proyek e-KTP. Sebab, proses lelang dinilai dikerjakan tidak sesuai prosedur. LKPP menemukan pelanggaran terhadap Keppres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
Namun, saran LKPP untuk memperbaiki proses lelang itu tidak dihiraukan pihak Kemendagri. LKPP akhirnya memilih mundur sebagai pendamping proyek senilai Rp5,8 triliun itu karena sarannya diabaikan.
(rah)