Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril mengatakan hak untuk melakukan penyelidikan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kini dimiliki DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bukan berarti mengintervensi proses hukum yang tengah ditangani. Dalam arti, hak penyelidikan itu hanya terbatas pada masalah pengelolaan semata.
"Angket itu ke depan bisa dilakukan, tapi tidak dalam hal penegakan hukum. Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan itu tetap sepenuhnya kewenangan KPK yang tidak boleh diintervensi," ujarnya saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Jumat (9/2).
Oce menjelaskan penyelidikan oleh DRP terhadap KPK hanya dapat dilakukan jika terdapat dugaan pelanggaran hukum dalam pengelolaan. Misalnya manajemen harta sitaan, rampasan, manajemen keuangan KPK, maupun kepegawaian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Itu bisa diangket. Tapi sepanjang tidak terdapat kesalahan atau pelanggaran, angket tidak bisa dilakukan," jelasnya.
Selaras dengan Oce, peneliti dari Pusat Hukum dan Kebijakan Indonesia Fajri Nursyamsi juga menyatakan bahwa putusan MK yang mengesahkan KPK sebagai objek angket DPR tidak dapat digunakan sebagai tiket untuk mengintervensi fungsi penegakan hukum KPK.
"Saya tidak setuju jika dikatakan putusan MK memperkuat posisi hak angket, karena hak angket itu tidak bisa digunakan terhadap KPK. Kalau dilihat rekomendasinya, kan (Pansus Angket) sangat terkait dengan kasus e-KTP," kata Fajri kepada
CNNIndonesia.com.
Fajri justru beranggapan bahwa putusan ini seharusnya menjadi rujukan untuk menghentikan Pansus Hak Angket DPR terhadap KPK. Karena MK menegaskan tentang ranah KPK yang tidak boleh diintervensi oleh DPR.
"(Jadi) Tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh KPK," tegasnya.
MK menolak uji materi Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang mengatur mengenai Panitia Khusus Hak Angket DPR.
Majelis hakim konstitusi berpendapat bahwa KPK termasuk lembaga eksekutif penunjang pemerintah karena dibentuk berdasarkan undang-undang. Karena itu, pembentukan Panitia Hak Angket oleh DPR sesuai dengan undang-undang.
Adapun penjelasan dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3, yakni objek hak angket adalah pelaksanaan suatu undang-undang dan atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Serangan DPRPeneliti Hukum pada Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Donal Fariz menyayangkan putusan MK yang menolak Pasal 79 ayat (3) UU MD3. Padahal empat hakim hakim konstitusi menyatakan KPK bukan merupakan lembaga eksekutif, sedangkan lima hakim lainnya berpendapat sebaliknya.
Donal melihat, DPR tetap tak bisa mengintervensi KPK dalam menangani suatu kasus. Sebab putusan MK dinilai Donal hanya membuat DPR bisa menjadikan KPK sebagai objek angket, tanpa bisa menyentuh ranah penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Meski begitu, lanjut Donal, bukan berarti KPK ke depannya bebas dari serangan dari Senayan. Lewat putusan MK ini dan dengan kewenangan DPR bisa membuat angket, maka KPK harus siap dengan segala serangan yang datang.
"Impilkasi ke depannya KPK harus siap dengan berbagai serangan dari DPR," ujar Donal pesan singkat kepada
CNNIndonesia.com.
Serangan itu bisa dilakukan dengan beragam motif. Mulai dari upaya mengganggu penanganan kasus, sampai dengan upaya mengamputasi kewenangan KPK.
Pengamputasian kewenangan itu bisa dilakukan DPR melalui revisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang KPK (UU KPK).
"Ancaman tersebut tentu tidak sekarang. Tapi berpotensi terjadi terus menerus pada waktu yang akan datang," ujarnya.
(osc)