Jakarta, CNN Indonesia -- Hiasan ornamen bernuansa warna merah, kuning, dan emas tampak di antara bangunan megah nan eksotis.
Sederet lampion yang dipasang di area gerbang masuk Kelenteng Besar Bandung Xie Tian Gong menambah kecantikan salah satu lokasi menyambut perayaan Malam Tahun Baru Imlek 2018.
Kelenteng yang berdiri di antara padatnya pemukiman Tionghoa di Jalan Kelenteng, Kota Bandung, Kamis (15/2) malam, cukup ramai dihadiri umat yang akan mengikuti ritual. Bau dupa turut menyeruak di antara bangunan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun malam itu, pengunjung tak hanya datang dari kalangan etnis Tionghoa yang ingin memanjatkan doa-doa dalam prosesi malam pergantian tahun.
Malam pergantian tahun yang jatuh pada 16 Februari ini rupanya cukup dinanti warga yang tak merayakan Imlek. Sebagian ingin turut berbaur dalam kegiatan bertajuk Tur Malam Imlek.
Tur tersebut diselenggarakan oleh Komunitas Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub). Mereka berkumpul di Kelenteng Besar Bandung sejak pukul 18.00 WIB.
Jumlah mereka lebih dari 100 orang. Salah satu tokoh masyarakat Tionghoa di Bandung, Sugiri Kustedja juga turut hadir.
Sugiri menuturkan, bangunan kelenteng yang didirikan pada tahun 1885. Dia lalu memaparkan tujuan pembangunan, fungsi dan aktivitas kelenteng sampai saat ini.
"Kelenteng ini terbuka bagi siapa pun," ucapnya.
Malam itu, Sugiri terpaksa absen hadir di tengah keluarga. Sebagaimana kepercayaan orang Tionghoa, ketika malam tahun baru harus tinggal dengan keluarga untuk menggelar makan bersama.
Antusiasme WargaBukan hanya Kelenteng Besar Bandung yang dikunjungi. Setelah berkeliling di Kelenteng Xie Tian Gong, rombongan bergeser ke Vihara Tanda Bhakti yang berada tepat di seberang Kelenteng Besar.
Di wihara ini mereka berkeliling melihat beberapa ornamen dan patung, sambil juga mendengarkan pemaparan pengurus kelenteng. Kemudian mereka bergerak ke arah Jalan Cibadak untuk mengunjungi Vihara Dharma Ramsi.
Dua tempat berikutnya yang dikunjungi adalah Kong Miao, tempat ibadah umat Konghucu serta Taokuan Sinar Mulya, tempat ibadah umat Taoisme. Acara selesai pada pukul 23.00 WIB.
Meski berjalan kaki dari satu lokasi ke tempat lain, para peserta tetap antusias mendapatkan penjelasan dari para pengurus tempat ibadah.
Koordinator kegiatan tur Malam Imlek, William Aribowo mengatakan, tur yang dilakukan untuk bertujuan mengenalkan tradisi dan budaya Tionghoa dalam menghayati tahun baru.
Dia menuturkan momen ini justru menjadi pengingat kembali akan akar budaya yang selamanya tak mungkin dipisahkan dari hidup mereka.
"Sehari-hari tempat ini ada di sekitar kita. Adanya tur ini kita ingin menjelaskan bahwa di Bandung ini ada keberagaman," kata William.
Kegiatan tur pertama kali digelar pada 2012 dan mendapatkan antusiasme yang besar dari pelbagai peserta.
ToleransiTur tanpa pungutan biaya ini diakui William hanya disebar melalui media sosial Jakatarub dan pesan berantai di aplikasi bincang-bincang.
Sugiri pun ikut menambahkan, tujuan tur yang diadakan Jakatarub lebih menekankan pada nilai toleransi.
"Dengan begini kita tidak berprasangka, sebab berprasangka itu lantaran salah pengertian. Ketika kita menjelaskan apa yang ada, mereka mengerti," jelasnya.
Salah seorang peserta, Guntur Ponco (22) mengatakan, kunjungan ini membuatnya jadi lebih tahu seluk-beluk kelenteng.
"Karena dalam kuliah semua agama harus dipelajari. Jadi dengan adanya acara ini bisa lebih tahu," ujar mahasiswa Jurusan Studi Agama-agama (SAA) Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung itu.
Peserta lainnya, Nur Hasanah (21) mengaku ini merupakan tur pertamanya ke kelenteng. Selama ini dia mengatakan tahu kelenteng hanya dari luar saja.
"Akhirnya jadi tahu apa yang dijelaskan penutur. Ada banyak tambahan pengetahuan," kata Nur Hasanah.
(asa)