Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas meminta agar publik tidak mengkhawatirkan pasal terkait
contempt of parliament atau penghinaan terhadap parlemen di Undang-Undang Nomor 17tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3).
Menurutnya, pasal penghinaan parlemen yang tertuang dalam Pasal 122 huruf k itu tidak memiliki delik pidana.
"Enggak ada sanksinya. Itu bukan delik pidana. Ini tafsirnya terlalu jauh ditafsirkan publik," kata Supratman dalam diskusi di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Supratman, tidak perlu ada yang ditakuti dalam pasal tersebut. Sebab, tanpa pasal itu pun anggota dewan dapat melaporkan secara pribadi.
"Nggak ada ancaman buat pengkritik," kata Supratman.
Hanya saja, jika setiap anggota dewan yang berjumlah 560 orang melaporkan sendiri kasusnya, akan terlalu banyak. Maka, kata Supratman UU MD3 memberi kewenangan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan untuk melaporkan.
Tugas MKD itu pun hanya sebatas mewakili DPR untuk mengambil langkah hukum jika merasa ada kehormatan yang dilanggar. Dia mencontohkan, hal ini sama seperti saat anggota Komisi III DPR mewakili parlemen dalam sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi.
Dalam UU MD3 yang baru disahkan hasil revisi, DPR memberi tambahan tugas kepada MKD sebagaimana tertuang dalam Pasal 122. Salah satunya tercantum dalam huruf k.
Pasal 122 huruf k menyatakan dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 121A, MKD bertugas mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Dinamika Panggil PaksaDi sisi lain ada sejumlah pasal dalam UU MD3 yang juga dianggap kontroversial. Misalnya soal pemanggilan paksa sebagaimana diatur dalam Pasal 73
Anggota Baleg Fraksi PPP Arsul Sani mengungkapkan dinamika yang terjadi dalam pembahasan revisi UU MD3 terkait Pasal 73. Arsul menuturkan ada keinginan pemerintah agar pihak yang diwajibkan hadir di DPR bukan hanya pejabat saja, melainkan setiap orang.
"Isi yang diusulkan DPR sebelum berubah awalnya tiap pejabat yang dipanggil DPR tak mau datang bisa dipanggil paksa. Tapi pemerintah yang ingin jangan diskriminasi pejabat saja, maka katanya diganti tiap orang," kata Arsul di tempat yang sama.
Beleid Pasal 73 ayat 1 menyebutkan DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memanggil setiap orang secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR.
Selanjutnya, dalam ayat 2 disebutkan setiap orang wajib memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud ayat 1.
Arsul mengklaim, DPR pada awalnya memiliki keinginan agar pasal ini dibuat limitatif. Dalam arti lain, tidak perlu penyanderaan setelah dipanggil paksa. Soal ini tercantum dalam ayat 5, yakni dalam menjalankan panggilan paksa Polri dapat menyandera setiap orang paling lama 30 hari.
"Itu pasal lebay. Saya lebih sreg jangan disandera. Sebab menegakan prinsip warga negara punya kewajiban memberi keterangan atau kesaksian harus ditegakkan di pengadilan," kata Arsul yang juga mewakili partainya menolak pengesahan UU MD3 di rapat paripurna lalu.
(osc)