Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendapat rapor merah dalam hal kinerja pada Masa Persidangan III yang berlangsung pada 9 Januari-14 Februari. Sebab, parlemen cuma fokus mengesahkan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) yang kontroversial.
Peneliti fungsi legislasi dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI) Lucius Karus mengatakan DPR baru mengesahkan UU MD3 pada masa sidang kali ini.
Padahal, ada 21 RUU yang ditargetkan oleh DPR untuk diteruskan proses pembahasannya dalam masa sidang ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mereka [DPR] justru nampak fokus dengan sesuatu [UU MD3] yang kemudian kami anggap sebagai upaya DPR untuk membalikkan gerak maju demokrasi kita ke zaman-zaman lama," ujar dia, di kantor FORMAPPI, Jakarta, Kamis (22/2).
Sementara, satu-satunya UU yang disahkan itu malah menuai kontroversi. Lucius menyatakan UU MD3 itu adalah bentuk upaya DPR untuk semakin menjauhkan diri dari rakyat, yang sesungguhnya adalah pemilik mandat DPR.
"Yang justru terus diperlihatkan oleh DPR adalah upaya-upaya mereka membentengi diri, dan puncaknya kemudian mereka kukuhkan dalam bentuk Undang-Undang. Saya kira ini prestasi yang paling buruk dari sisi kualitas yang dihasilkan oleh DPR," papar dia.
Terkait presiden Jokowi yang menolak untuk menandatangani hasil revisi UU MD3, Lucius menyatakan apresiasinya dengan sikap yang dianggapnya berani itu.
Walaupun UU MD3 akan tetap sah dan berlaku dengan sendirinya setelah 30 hari terhitung dari pengesahan di rapat paripurna, menurutnya Presiden Jokowi mengambil sikap yang tepat dan pro rakyat.
"Sikap politik ini hanya untuk memastikan bahwa di antara sekian banyak elit politik kita, masih ada orang waras," tegasnya.
Pada 12 Februari, DPR mengesahkan UU MD3 pada rapat paripurna. Masyarakat sipil mengkritisi perundangan itu karena dipandang memiliki sejumlah pasal kontroversial.
Di antaranya, Pasal 73 tentang kewajiban Polri membantu DPR melakukan pemanggilan paksa, 122 huruf k tentang kewenangan penindakan terhadap pihak yang merendahkan DPR, dan pasal 245 tentang perlunya pertimbangan MKD jika penegak hukum memanggil anggota DPR.
Presiden Jokowi kemudian mengaku menimbang untuk tak menandatangani UU itu karena tak ingin dicap sebagai pendukung DPR yang antikritik.
(arh)