Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo meminta pandangan hukum sejumlah pakar mengenai hasil revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Salah satunya ialah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD.
Mahfud menuturkan, dalam pertemuan sekitar dua jam, ia bersama tiga rekan lainnya yakni mantan Hakim MK Maruarar Siahaan, Guru Besar UGM Eddy OS Hiariej, serta praktisi Hukum Luhut Pangaribuan.
Dalam pertemuan itu mereka memberi penilaian terkait pelibatan Polri terhadap terduga penghina anggota DPR, langkah hukum MKD, serta pasal imunitas DPR.
"Kami sampaikan pandangan kami dan masyarakat. Kami katakan Presiden punya hak dan wewenang konstitusional untuk segera mengambil keputusan, apapun itu konsekuensi dari jabatan presiden," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (28/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mahfud enggan menuturkan masukan serta pandangan yang disampaikan kepada Jokowi. Ia hanya mengatakan bahwa pilihan yang ada saat ini sama seperti pemberitaan belakangan.
Menurutnya, semua pilihan baik penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), menandatangani hasil revisi, tidak menandatangani, dan tidak menerbitkan Perppu dibahas kelemahan dan kekuatannya.
"Biar Presiden yang menilai, menimbang, dan memutuskan. Itu wewenang sepenuhnya Presiden," ucapnya.
Mantan Menteri Pertahanan ini menegaskan, ia bersama pakar hukum lainnya hanya memberi pandangan dan tidak mengusulkan langkah yang seharusnya diambil Presiden.
"Kami tidak mengusulkan apa-apa. Hukum itu pilihan-pilihan yang kemudian mengikat dengan segala risikonya setelah menjadi hukum," tuturnya.
Presiden Jokowi sebelumnya menyatakan belum menandatangani hasil revisi UU MD3 sebab masih ingin meminta pandangan para pakar terkait sejumlah pasal yang dinilai meresahkan masyarakat.
Jokowi juga sempat mengatakan tidak akan menerbitkan Perppu untuk menyikapi hasil revisi beleid itu.
Pengesahan revisi UU MD3 oleh DPR dan pemerintah, beberapa waktu, mendapat protes lantaran ada sejumlah pasal yang dinilai memperluas kewenangan DPR dan mengancam kebebasan berpendapat.
Pasal-pasal yang mendapat sorotan antara lain Pasal 73 tentang pemanggilan paksa, Pasal 122 tentang penghinaan terhadap parlemen, dan Pasal 245 tentang hak imunitas anggota dewan.
(wis/wis)