Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam sidang pleno uji materi Undang-undang No 16 tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat (UU Ormas) tidak memperkenankan saksi ahli dari pemohon, yakni pihak Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF), untuk bersaksi bersaksi di persidangan.
"Saksi ahli dari pemohon belum bisa kita dengarkan keterangannya," kata Arief Hidayat, Ketua Majelis Hakim sidang uji materi UU Ormas, Selasa (6/3).
Majelis hakim beralasan saksi ahli dari GNPF MUI baru menyerahkan makalah keterangan tertulis kepada majelis hakim pagi ini. Padahal, seharusnya diserahkan selambat-lambatnya dua hari sebelum sidang digelar.
Atas hal itu, majelis hakim memberi kesempatan pemohon untuk menghadirkan kembali saksi ahli pada persidangan berikutnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sidang kali ini digelar dengan agenda mendengar keterangan saksi ahli dari pemohon. Sidang yang dimulai sekitar pukul 11.00 WIB juga mendengarkan keterangan dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat.
Setelah larangan bersaksi kepada pihak pemohon, majelis hakim melanjutkan sidang dengan pemaparan dari DPR yang diwakili anggota Komisi III Arteria Dahlan.
Lalu, majelis hakim juga mendengarkan keterangan dari pihak terkait yang diwakili Forum Advokat Pengawal Pancasila dan LBH Pembela Pancasila.
Usai persidangan, kuasa hukum pemohon M Kamil Pasha mempertanyakan keputusan majelis hakim tersebut. Ia mengatakan menurut perundang-undangan, makalah keterangan tertulis saksi ahli hanya dibutuhkan jika saksi ahli tak dapat dihadirkan.
"Meskipun begitu kami menghormati keputusan majelis dari Mahkamah Konstitusi yang mulia sehingga kita akan ajukan lagi untuk saksi ahli tersebut pada persidangan berikutnya," ucap Kamil.
Majelis hakim memutuskan untuk melanjutkan persidangan pada Selasa 20 Maret 2018. Agenda sidang adalah kembali mendengarkan keterangan saksi ahli pemohon, DPR, dan dua ormas selaku pihak terkait.
GNPF mengajukan gugatan terhadap UU Ormas pada 15 Januari 2018. Mereka menganggap UU Ormas mengancam kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia (HAM).
GNPF menyatakan Pasal 1 angka 6 sampai dengan 21, kemudian Pasal 62 ayat (3), Pasal 80 A, Pasal 82 A ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor16 Tahun 2017 bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pernyataan itu mereka cantumkan dalam petitum kepada majelis hakim MK.
(wis/gil)