Jakarta, CNN Indonesia -- Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) menilai pernyataan-pernyataan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada sidang pleno uji materi UU Ormas sudah usang.
"Tanggapan dari pihak DPR itu bisa dikatakan out of date karena yang dinyatakan tersebut sebenarnya sudah dijawab pada persidangan yang lalu oleh saksi ahli," kata Kuasa hukum GNPF M Kamil Pasha usai persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (6/3).
Kamil menjelaskan salah satu pernyataan DPR yang usang berkenaan dengan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai wadah yang diatur UU Ormas untuk menyelesaikan sengketa ormas.
Menurutnya, hal itu sudah dijawab oleh Zen Zanibar MZ dan Abdul Chair Ramadhan selaku saksi ahli dari GNPF di sidang sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kamil menyatakan PTUN hanya mengadili permasalahan materil, sementara pencabutan badan hukum ormas yang diatur UU Ormas adalah permasalahan riil.
"Kesalahan riil harus dibuktikan di pengadilan umum. Yang berhak mencabut hak seseorang itu, hak suatu organisasi itu, adalah pengadilan umum," tuturnya.
Dia menambahkan, PTUN tak berwenang mengadili perkara tersebut, apalagi jika kasus pembubaran ormas tersebut mengandung unsur pidana.
Sebelumnya dalam persidangan, DPR RI diwakili oleh Anggota Komisi III Arteria Dahlan. Menurutnya, pencabutan status badan hukum ormas yang diatur dalam UU Ormas dilakukan dengan rangkaian tahapan yang konstitusional.
"Bila keputusan itu menimbulkan keberatan bagi masyarakat maka bisa dilakukan tahapan hukum selanjutnya di PTUN," lanjutnya.
Sidang tersebut seharusnya digelar dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli dari pemohon. Baru dilanjutkan dengan keterangan dari DPR RI dan pihak terkait.
Namun majelis hakim yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat membatalkan kesaksian tersebut. Alasannya saksi ahli dari pemohon baru menyerahkan makalah keterangan tertulis pagi ini. Seharusnya dilakukan dua hari sebelum persidangan.
Persidangan pun dilanjut tanggal 20 Maret 2018 dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli pemohon. Dilanjut dengan keterangan dari pihak DPR, Pemrintah, dan pihak terkait.
Dalam petitum atau surat gugatan yang diajukan 15 Desember 2018 ke majelis hakim MK, GNPF menilai beberapa pasal UU Ormas bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
GNPF menilai Pasal 1 angka 6 sampai dengan 21, kemudian Pasal 62 ayat (3), Pasal 80 A, Pasal 82 A ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2017 mengancam kebebasan berserikat warga negara serta tak memberi kepastian hukum.
(lav)