Jakarta, CNN Indonesia -- Kuasa hukum terpidana terorisme Abu Bakar Ba'asyir, Mahendradatta, menyatakan bahwa kliennya itu enggan mengaku bersalah. Permohonan grasi pun dianggap hal tabu.
"Beliau menyatakan, 'sampai hari ini saya tidak bersalah'. Jadi [permohonan grasi]
tidak akan dilakukan," kata Mahendradatta di kantornya, di Jakarta Selatan, Rabu (7/3).
Alhasil, pihaknya tidak akan mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Jokowi. Sebab, pihak yang mengajukan grasi harus menyatakan bersalah atas tindakan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini berbeda dengan abolisi dan amnesti yang diberikan tanpa harus mengakui kesalahannya.
"Tentang grasi, beliau [Ba'asyir] tidak akan mungkin, tidak akan membolehkan, tidak akan meminta grasi," ujarnya.
Saat ditemui di RSCM, Jakarta, pada Kamis (1/3), Kuasa Hukum Ba'asyir lainnya, Guntur Fattahillah,
menyebut bahwa yang disampaikan Ba'asyir selama ini adalah kebenaran."Dia menerangkan tentang agama Islam itu sendiri, seperti halnya seorang penulis atau wartawan yang menulis tentang pendapatnya, boleh dong," ujar dia.
Ba'asyir, lanjut Guntur,
juga meyakini bahwa permintaan maaf hanya layak disampaikan kepada Sang Pencipta.
Sebelumnya, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin sempat menceritakan soal peluang grasi bagi Ba'asyir kepada Presiden Joko Widodo, di Istana Negara, belum lama ini. Grasi itu disarankannya mengingat kondisi kesehatan Ba'asyir yang menurun.
Jokowi sendiri
mengaku belum mendapatkan permohonan resmi soal grasi maupun tahanan rumah dari Abu Bakar Ba'asyir.
"Urusan grasi dan tahanan rumah, saya sampai saat ini belum menerima surat permohonan. Jadi saya tidak bisa berbicara," kata Jokowi di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat Jumat (2/3).
Ba'asyir divonis hukuman dua tahun enam bulan penjara oleh PN Jaksel karena terbukti terlibat dalam peristiwa bom Bali dan bom Hotel JW Marriott pada tahun 2004.
Setelah bebas, pada 2011, ia kembali menerima vonis 15 tahun penjara dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, karena terbukti menjadi perencana dan penyandang dana pelatihan kelompok bersenjata di pegunungan Jantho, Aceh.
(arh/sur)