Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) telah resmi memiliki nomor dan sah tercatat di lembar administrasi negara. UU MD3 diberi nomor UU Nomor 2 Tahun 2018.
Yasonna mengatakan publik kini bisa menggugat UU MD3 karena telah mendapat penomoran dari Kementerian Sekretariat Negara.
"Karena sudah ada nomornya dan sudah sah menjadi undang-undang. Jadi kalau ada sekarang mau mengajukan judicial review silakan, UU Nomor 2 Tahun 2018," kata Yasonna di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (15/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski tidak ditandatangani Presiden Joko Widodo, kata Yasonna, UU MD3 tetap sah dan tidak memiliki dampak hukum. Hal itu karena telah diatur dalam aturan perundang-undangan.
"Konstitusi mengatakan bahwa kalau tidak ditandatangani presiden maka oleh konstitusi disebutkan 30 hari. Jadi 30 harinya itu jam 00.00 tadi malam," katanya.
Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Pambudi Hurip Yuwono saat dikonfirmasi
CNNIndonesia.com turut menegaskan bahwa undang-undang tersebut telah diberikan nomor.
Perubahan nomor aturan itu menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.
Undang-Undang MD3 itu masuk dalam lembaran negara nomor 29 tambahan lembaran negara nomor 6187.
Terpisah, Bendahara Fraksi PDIP Alex Indra Lukman mengatakan pihaknya sudah menerima surat dari pimpinan DPR terkait permintaan nama untuk mengisi jabatan pimpinan DPR sesuai dengan hasil revisi UU MD3.
"Jadi kalau berdasarkan alur waktu, Selasa itu kan hari paripurna, kami berharap dengan mengapresiasi juga sikapnya pimpinan DPR untuk segera menyurati DPP PDIP dalam rentang waktu yamg ada ini Selasa sudah ada pelantikan," kata Alex.
Hasil revisi UU MD3 mengatur penambahan kursi pimpinan DPR yang diperuntukan kepada PDIP sebagai partai pemenang pemilu.
Selain penambahan jumlah pimpinan DPR, UU MD3 disorot karena dianggap mengancam kebebasan berpendapat, termasuk membatasi kritik terhadap parlemen.
(gil)