Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Komisi III DPR dari Fraksi NasDem, Teuku Taufiqulhadi mengatakan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) merupakan peraturan yang rapuh karena tidak mendapat restu dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Selain itu juga karena undang-undang tersebut tidak didukung segenap lapisan masyarakat.
Taufiq berani menyatakan hal tersebut karena selama ini NasDem merupakan fraksi yang tidak menyetujui UU MD3 saat masih berada di tahap perancangan.
"UU ini rapuh seperti kerupuk karena tidak ditandatangani presiden dan ditolak oleh rakyat," kata Taufiq kepada
CNNIndonesia.com melalui pesan singkat, Kamis (14/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hari ini, UU MD3 otomatis berlaku setelah 30 hari tak ditandatangani Jokowi sejak disepakati dalam Rapat Paripurna DPR. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan undang-undang itu diberi Nomor 2 Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3. Undang-Undang MD3 itu masuk dalam lembaran negara nomor 29 tambahan lembaran negara nomor 6187.
 Massa yang menolak UU MD3 terbaru melakukan aksi di depan gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 15 Maret 2018. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Secara terpisah, partai yang baru akan ikut Pemilu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) pun berkomentar. PSI adalah salah satu yang mengajukan gugatan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam UU MD3 terbaru ke Mahkamah Konstitusi.
PSI kembali menegaskan bahwa UU MD3 sangat merugikan rakyat. Menurut mereka, masyarakat khawatir UU MD3 dimanfaatkan DPR untuk menjadi lembaga yang antikritik, adikuasa, dan kebal hukum.
"Revisi UU MD3 itu telah mengkhianati rasa keadilan bagi rakyat Indonesia serta mencederai demokrasi dan hak asasi manusia," seperti dikutip dari siaran pers.
Pasal-pasal yang dikritik PSI yakni Pasal 73 mengenai permintaan DPR kepada Polri untuk memanggil paksa, bahkan penyanderaan kepada setiap orang yang menolak memenuhi panggilan anggota DPR. Polri pun harus memenuhi permintaan anggota DPR yang bersangkutan untuk melakukan pemanggilan paksa dan penyanderaan.
"Pasal ini berpotensi digunakan untuk mempidanakan suara-suara rakyat yang sedang memperjuangkan suara-suara rakyat yang sedang memperjuangkan hak mereka," demikian pernyataan PSI.
Kemudian pada Pasal 122 huruf k, yang mana menyatakan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan berwenang mengambil langkah hukum kepada siapa pun yang merendahkan kehormatan DPR serta anggotanya.
PSI juga mengkritik Pasal 245. Dalam beleid tersebut dinyatakan bahwa pemanggilan terhadap anggota DPR yang tersangkut kasus hukum harus mendapat persetujuan presiden dan pertimbangan mKD terlebih dahulu. Artinya, aparat penegak hukum tidak bisa memanggil anggota DPR secara langsung untuk keperluan penyidikan.
"Ini sangat berbahaya. Indonesia dalam keadaan darurat kriminalisasi oleh wakil rakyat terhadap rakyatnya sendiri."
(kid/sur)