-- Elektabilitas Joko Widodo yang belum melampaui angka 50 persen diyakini bakal menyulitkan calon petahana itu memenangkan
. Bukan tak mungkin kejadian saat Pilkada DKI Jakarta 2017 terulang di Pilpres mendatang.
Pada survei Polcomm yang dirilis 25 Maret, elektabilitas Jokowi sebesar 49,08 persen. Sedangkan survei LSI Denny JA dan Indo Barometer yang dirilis Januari dan Februari lalu mencatat elektabilitas Jokowi sebesar 48,50 dan 32,7 persen.
Terkait hal ini, LSI Denny JA juga sempat mewanti Jokowi. Sebab sebagai petahana, Jokowi semestinya bisa mengantongi elektabilitas lebih dari 50 persen.
"Sebagai petahana, itu suatu angka yang tidak terlalu ideal. Angka pemilih secara umum juga melirik capres lain," ujar peneliti LSI Adjie Alfaraby Januari lalu.
Hendri melanjutkan bahwa tingginya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi tak menjamin petahana meraih kemenangan.
Berdasarkan survei SMRC pada 2 Januari 2018, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah mencapai 74,3 persen. Tetapi, kata Hendri, hal serupa juga terjadi di Pilkada DKI 2017 lalu.
Kata Hendri, saat itu warga ibu kota puas dengan kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tapi tidak memilihnya kembali.
Jokowi saat ini sudah didukung oleh delapan partai politik, di antaranya PDIP, Golkar, NasDem, PPP, dan PSI. Jokowi kemungkinan akan kembali bertarung dengan Prabowo Subianto yang baru saja menerima mandat maju sebagai calon presiden 2019.
Gerindra sendiri masih mencari mitra koalisi demi memenuhi syarat
parliamentary treshold. Sejauh ini yang paling berpeluang bergabung adalah Partai Keadilan Sejahtera. Sementara empat partai seperti PAN, PKB, PKS, dan Partai Demokrat belum menentukan pilihan berkoalisi ke Prabowo, Jokowi, atau mengajukan calon sendiri.
Hendri menyebut pemilihan sosok cawapres oleh Jokowi dan Prabowo akan menentukan kemenangan di Pilpres 2019.
Khusus untuk Jokowi, Hendri menilai sejumlah nama yang berpotensi mendongkrak elektabilitasnya antara lain Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani.
"Makanya benar-benar serius pemilihan wakil presiden ini," ucap Hendri.
Kubu Gerindra sendiri yakin elektabilitas Prabowo bakal terangkat seiring dengan safari politiknya ke sejumlah daerah.
"Setelah Pak Prabowo deklarasi oleh Partai Gerindra kemaren maka beliau akan langsung keliling Indonesia menyerap aspirasi masyarakat," kata Wakil Sekjen Gerindra Andre Rosiade.
Elektabilitas Prabowo memang selalu di bawah Jokowi. Survei Polcomm Institute menunjukkan elektabilitas Prabowo mencapai 29,67 persen, Populi Center mencatat 25,3 persen dan Survey SMRC menyebut 18,5 persen responden menyatakan Prabowo sebagai calon presiden.
Andre mengaku tak khawatir terhadap itu. Menurutnya, perkembangan elektabilitas Prabowo masih terbilang wajar karena mantan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) itu belum melakukan pergerakan untuk kampanye.
Kondisi itu diyakini bakal berubah seiring proses politik yang berjalan. Ia optimistis Prabowo bisa menyalip elektabilitas Jokowi yang terbilang masih stagnan di angka 40 persen.
Hal itu juga berkaca pada kemenangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Pilkada DKI 2017. Anies-Sandi berhasil keluar dari bayang-bayang Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang berduet dengan Djarot Saiful Hidayat.
"Insya Allah Elektabilitas beliau [Prabowo] akan naik. Wajar, karena pak Prabowo belum bergerak [kampanye]. Tapi Faktanya kan elektabilitas pak Jokowi kan stagnan di 40%," pungkasnya.
Secara terpisah, Kepala Staf Presiden Moeldoko menyatakan Presiden Jokowi pasti memiliki perhitungannya sendiri apabila harus melawan Prabowo lagi tahun depan.
"Saya pikir Pak Jokowi sudah bisa mengkalkulasikan berbagai situasi, berbagai kunjungan. Pasti beliau bisa melihat bisa mengkalkulasi mana daerah yang sudah
firm dan selesai," kata Moeldoko.
Mengenai calon wakil, Jokowi kerap mengatakan ia bersama partai pendukung dan tim internal masih menggodok dan memberikan waktu kepada siapapun mengajukan nama.