Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Inisiatif menutup kelab malam Exotic oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena insiden pengunjung meninggal overdosis narkotika sesungguhnya amat disayangkan. Langkah penutupan kelab malam tidak akan menyelesaikan masalah sebenarnya, yaitu kriminalisasi pemakai narkotika yang menghambat intervensi kesehatan.
Pada kasus ini, masalahnya berakibat fatal: hilangnya nyawa satu anak manusia.
Pada tahun 2014, kasus serupa pernah terjadi. Seorang polisi overdosis di kelab malam Stadium sehingga Basuki Tjahaja Purnama yang kala itu masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, memerintahkan anak buahnya menutup kelab tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tindakan ini nyatanya tidak menghetikan fenomena kematian akibat overdosis di kelab malam, termasuk di antaranya Exotic.
Setelah menginvestigasi kasus kematian tersebut, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata DKI Jakarta memutuskan untuk menutup kelab itu. Pengelola diminta untuk secara mandiri menutup tempat usahanya sebelum 18 April 2018.
Namun seharusnya pemerintah mengambil langkah yang jauh lebih komprehensif dari itu dan mempertimbangkan faktor bahwa industri hiburan dan pemakaian narkotika adalah satu mata keping yang sama. Di kota super penat seperti Jakarta, akan selalu ada orang yang mengonsumsi narkotika dan kemudian pergi ke kelab malam. Dunia tanpa narkotika pun sama halnya dengan dunia tanpa prostitusi: sebuah utopia.
Tentu segala upaya pencegahan pencegahan tetap harus terus dilakukan. Namun faktor-faktor di atas harus jadi pertimbangan.
Di banyak negara, masalah kematian di kelab malam atau festival musik mulai diatasi dengan sebuah intervensi bernama
drug checking. Pemakai yang membawa narkotika dapat memeriksakan narkotika yang ia bawa ke sebuah layanan untuk melihat kandungannya.
Hal ini menjadi relevan karena narkotika yang dibeli di pasar gelap tidak memiliki penjelasan jumlah kandungan. Hal ini dapat berujung pada dosis yang terlalu besar -- yang tentu dapat menyebabkan kematian.
Sayangnya, hari ini Indonesia tidak memiliki angka spesifik tentang jumlah angka overdosis yang berkaitan dengan konsumsi narkotika. Di rumah sakit, biasanya kematian akibat overdosis dicatat sebagai keracunan. Pencatatannya kemudian bercampur dengan keracunan lain, akibat makanan misalnya.
Ketika segala upaya keras dilancarkan penegak hukum terhadap kasus-kasus narkotika, tapi Indonesia ternyata tidak memiliki data keras tentang overdosis, bukankah kita semestinya bertanya: sebenarnya Indonesia serius tidak sih mengatasi permasalahan narkotika?
 Pemprov DKI Jakarta memutuskan untuk menutup kelab malam Exotic setelah adanya kasus kematian akibat overdosis. (AFP PHOTO / DANIEL MIHAILESCU) |
Masalah juga berlanjut pada asumsi yang digunakan untuk memperlakukan tamu kelab malam.
Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) DKI Jakarta, Brigjen Johny P. Latupeirisa, menyatakan, "Mereka (pengelola) harus tahu setiap tamu yang mengonsumsi Narkoba saat masuk diskotek. Perilaku pengonsumsi Narkoba dan penampakan fisiknya itu mudah diduga. Kalau karyawan ragu kan bisa lapor. Jangan dibiarkan dong."
Pernyataan ini tidak bijak karena melanggengkan stigma pada pemakai narkotika seakan penggunaan narkotika dapat dilihat melalui fisik. Steve Jobs, pendiri Apple Inc., adalah seseorang yang punya sejarah mengonsumsi LSD (
Lysergic acid diethylamide).
Dari penampilan, bagaimana kita bisa menghakiminya sebagai seorang pemakai narkotika?
Saran dari Kepala BNNP DKI Jakarta itu bisa menimbulkan masalah ketika seseorang ingin memasuki kelab malam, terutama jika muncul penilaian yang salah dari penjaga kelab. Bisa saja, kelab malam dan juga BNN mendapatkan gugatan dari seseorang yang tidak terima distigma dan didiskriminasi atas dasar penampilan.
Jika serius ingin mengentaskan fenomena overdosis di kelab malam, maka pembuat peraturan seharusnya mendekriminalisasi pemakaian narkotika serta penguasaan dan pembelian narkotika dalam jumlah terbatas. Hal ini akan membangun situasi yang kondusif bagi pemakai narkotika agar terbuka pada intervensi kesehatan dan juga bagi kelab malam untuk ikut membantu terimplementasinya intervensi kesehatan yang diperlukan.
Mereka yang bekerja di kelab malam seharusnya menjadi garda terdepan untuk menghindari terjadinya insiden overdosis di sana. Penjaga kelab malam dan juga bartender dapat melakukan hal yang amat penting yakni memberikan informasi yang jujur tentang narkotika pada pengunjung kelab.
Misalnya, tidak bijak untuk mengonsumsi alkohol setelah mengonsumsi ekstasi atau sabu, juga memberi tahu cara berbaring dan memulihkan diri apabila seorang pengunjung sudah terlalu mabuk. Penjaga kelab malam dan bartender juga dapat melakukan sejumlah tindakan seperti tidak lagi menjual alkohol pada mereka yang mengaku sudah mengonsumsi narkotika, juga mengambil kunci kendaraan mereka yang tingkat intoksikasinya sudah tinggi.
Penguatan kapasitas penjaga kelab malam maupun bartender untuk melakukan pertolongan pertama seperti ini mendesak untuk segera dilakukan. Hal ini dapat dilakukan karena penjaga kelab malam dan bartender adalah pihak-pihak paling pertama yang dapat melihat gelagat pengunjung.
Cara mereka untuk melakukan pertolongan pun harus sedemikian rupa agar pengunjung tidak merasa terganggu. Kepekaan ini penting untuk tidak menimbulkan kisruh lebih jauh di bar atau kelab malam tersebut. Selain menghindari berulangnya insiden kematian, intervensi ini juga akan mengurangi tingkat kecelakaan yang terjadi sepulang dari bar atau kelab malam. Hal yang, lagi-lagi, datanya tidak dimiliki Indonesia.
Di negara-negara lain, seperti Inggris dan Amerika Serikat misalnya, intervensi-intervensi usaha seperti ini disampaikan oleh universitas pada pengusaha-pengusaha bar dan kelab malam serta para pegawainya. Hal ini kemudian dijadikan standar oleh pemerintah lokal untuk pemberian izin pada sebuah kelab malam.
Jika intervensi-intervensi seperti ini lalai dilakukan, maka izin usaha kelab malam tersebut menjadi terancam. Hal ini patut dibedakan dengan kasus Exotic dan Stadium. Dalam kedua kasus tersebut kedua kelab malam itu diancam akan ditutup semata-mata karena adanya insiden overdosis, padahal di sisi lain negara tidak pernah sama sekali memberikan bekal pertolongan pertama yang memadai.
Pelatihan semacam ini pasti juga akan didukung oleh pengusaha-pengusaha bar dan kelab malam karena (1) tidak ada pengusaha yang ingin memiliki reputasi buruk dengan adanya insiden kematian, (2) mereka dapat mengurangi insiden keributan di dalam kelab, dan (3) kelab dengan reputasi baik, ramah, dan handal juga akan lebih sering didatangi pengunjung yang berimplikasi pada peningkatan profit.
Penutupan sebuah kelab malam tidak menolong situasi karena para pemakai narkotika hanya akan pindah ke kelab malam lain. Mengambil langkah fatalistik dengan menutup semua kelab malam juga justru bisa menciptakan underground nightlife yang semakin sulit untuk dipantau dan diberikan intervensi kesehatan.
Karena itulah, solusi yang paling realistis hanya satu: situasi yang mendukung upaya intervensi kesehatan.
Menciptakan situasi ini memerlukan perubahan regulasi yang mendasar tentang narkotika serta butuh adanya pergeseran perspektif.
Bergeser dari punitif pada rakyat yang memakai narkotika menjadi betul-betul tulus mencintai rakyat. Mereka yang berada di kelab malam juga anak-anak Indonesia. Orang-orang produktif yang ingin menghibur diri dari lelah kehidupan. Anak-anak bangsa ini perlu dibantu, bukan dihukum.
(vws)