Kilau Prestasi dan Seruan Evaluasi Kinerja Tito Karnavian

Martahan Sohuturon | CNN Indonesia
Sabtu, 19 Mei 2018 03:20 WIB
Pengamat kepolisian Khairul Fahmi menilai Jokowi perlu melakukan evaluasi terhadap kinerja Tito sebagai Kapolri terkait aksi terorisme dalam dua pekan terakhir.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian. (CNN Indonesia/Abi Sarwanto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Harapan perbaikan kualitas dalam penanggulangan kejahatan terorisme yang lebih baik oleh institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) membubung tinggi saat nama Tito Karnavian dilantik Presiden Joko widodo sebagai Kepala Polri (Kapolri) pada pertengahan 2016 silam.

Harapan tersebut bukan tanpa alasan bila melihat kilau prestasi Tito selama bertugas sebagai anggota Polri yang banyak ditorehkan dalam bidang penanganan kejahatan terorisme.

Pria kelahiran Palembang, Sumatera Selatan pada 26 Oktober 1964 itu pernah menangkap teroris yang merupakan otak Bom Bali I, dokter Azahari Husin di Malang, Jawa Timur pada 2005.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemudian, Tito juga pernah membongkar orang-orang di balik konflik Poso, Sulawesi Tengah dan menumpas jaringan terorisme pimpinan Noordin Mohammad Top pada 2009.

Selain itu, Tito juga tercatat pernah mengungkap kasus terorisme lain seperti bom di Hotel Ritz Carlton serta JW Marriot pada 2009, serta bom bunuh diri di masjid yang berlokasi di Markas Polres Cirebon, Jawa Barat.

Kala itu, Tito tengah menjabat sebagai Kepala Detasemen Khusus 88 Anti-Teror Polri.

Sebelum menjabat sebagai Kapolri, Tito pun sempat menjalankan tugas sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Harapan perbaikan kualitas dalam penanggulangan kejahatan terorisme itu pun dibawa Tito menjadi satu dari 11 program prioritas kerjanya sebagai Kapolri. Program tersebut kemudian ia beri nama Promoter (Profesional, Modern, dan Terpercaya).

"Penanganan kelompok radikal pro kekerasan dan intoleransi yang optimal," demikian bunyi poin ketiga dalam Promoter.

Harapan terhadap Tito kian membubung tinggi setelah Tito menyandang gelar profesor sekaligus dikukuhkan sebagai Guru Besar untuk studi strategis kajian kontra terorisme oleh Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) pada 26 Oktober 2017.

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, berharap Tito dapat menggabungkan kapasitas sebagai seorang akademisi sekaligus praktisi di bidang penaganan radikalisme dan terorisme.

"Saya kenal pak Tito memang sekarang akademisi, tapi juga seorang praktisi yang bisa mengawinkan dua itu tadi, sehingga membuat Polri dan negara kita lebih aman," kata Luhut usai menghadiri acara penganugerahan gelar profesor kepada Tito kala itu.

Namun, setelah lebih dua tahun memegang tongkat komando pucuk pimpinan Korps Bhayangkara, serangkaian aksi terorisme masih kerap terjadi, meskipun polisi telah berhasil menangkap atau menembak mati sejumlah terduga teroris seperti pemimpin kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Santoso alias Abu Wardah.

Terakhir, serangan terorisme malah terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia secara beruntun sejak 8 hingga 16 Mei 2018.

Dimulai dari kerusuhan di rumah tahanan Markas Korps Brigade Mobil (Mako Brimob), Depok, Jawa Barat kemudian berlanjut ke serangan bom bunuh diri di tiga gereja serta Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Mapolrestabes) Surabaya, Jawa Timur hingga berakhir dengan penyerangan Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Riau.

Serangan terorisme itu pun memunculkan seruan agar Presiden Jokowi segera mengevaluasi kinerja Tito bersama rekannya di kursi Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Jenderal (Purnawirawan) Budi Gunawan.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono mengatakan serangkaian aksi terorisme yang terjadi secara beruntun tersebut merupakan bukti sistem keamanan di Indonesia lemah.

"Joko Widodo harus meminta pertanggungjawaban Kepala BIN, Kapolri yang gagal memberikan rasa aman bagi masyarakat dengan terkait terjadinya peledakan bom di Gereja," kata Arief.

Evaluasi Kinerja Tito

Pengamat kepolisian Khairul Fahmi, menilai Jokowi perlu melakukan evaluasi terhadap kinerja Tito sebagai Kapolri terkait berbagai langkah kepolisian dalam menyikapi berbagai aksi terorisme dalam dua pekan terakhir.

"Evaluasi perlu dilakukan," kata Khairul saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Jumat (18/5).
Dia menerangkan langkah yang terlihat tidak seirama di tubuh Polri dalam menyikapi aksi terorisme dalam dua pekan terakhir merupakan salah satu alasan pentingnya evaluasi dilakukan.

Khairul mencontohkan langkah tidak seirama itu terlihat dari pernyataan Tito yang tidak konsisten terkait asal usul terduga pelaku bom bunuh diri di salah satu gereja di Surabaya. Contoh lain, lanjutnya, ialah beda pernyataan seputar jaringan pelaku penyerangan Mapolda Riau antara Negara Islam Indonesia (NII) atau Jamaah Ansharut Daulah (JAD).

"Kelihatan ada yang kurang seirama dari kinerja Polri dalam beberapa waktu terakhir ini terkait terorisme. Misalnya, Kapolri bilang salah satu pelaku di Surabaya itu alumni Suriah kemudian dikoreksi. Selanjutnya penyerang Mapolda Riau dikatakan jariangan NII, kemudian jadi JAD," tuturnya.

Selain itu, menurutnya, evaluasi juga perlu dilakukan karena Polri cenderung tidak bijak dalam memberikan penjelasan ke publik. Dia menerangkan, penjelasan yang tidak detail dari Polri terkait ciri-ciri terduga teroris yang beraksi dalam dua pekan terakhir telah memunculkan stereotip tertentu tentang terorisme.

"Termasuk sikap belakangan masyarakat yang kemudian stereotip pada penampilan orang yang berbeda kemudian soal cadar, jenggot dan segala macam, itu reaksi dari pernyataan polri yang tidak tuntas, artinya tidak dilanjutkan dengan penjelasan," ujarnya.

Namun demikian, dia menyarankan, evaluasi dilakukan setelah Tito melakukan evaluasi di internal Polri lebih dahulu. Peniliti di Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) itu menuturkan, hal ini penting agar Jokowi dapat mengetahui letak permasalahan sebenarnya, apakah secara institusi atau kepemimpinan di tubuh Polri.

"Harus jelas ini persoalan kelembagaan apa personal saja. Tidak bisa juga menyebutkan bahwa ketika Polri lemah, ini murni kesalahan kelemahan Tito. Kalau mau evaluasi, sekalian apakah organisasi sudah efektif melakukan kerja-kerja penanggulangan ini," ujarnya.

Selain itu, menurutnya, langkah memberikan waktu untuk Tito mengevaluasi kinerja internal Polri lebih dahulu juga akan menghasilkan kerangka yang lebih efektif dan hal-hal bersifat konstruktif dalam penanganan terorisme di hari mendatang.
Dia melanjutkan, evaluasi juga sebaiknya tidak dilakukan di tengah situasi emosional seperti saat ini. Khairul menyarankan, evaluasi dilakukan Jokowi setelah Tito beserta jajarannya menyelesaikan seluruh proses penyidikan terkait serangan terorisme yang terjadi.

"Orang sedang kerja enggak benar juga (dievaluasi). Biarkan kerja secara maksimal, berikan tenggat waktu cukup dan masuk akal. Kemudian pada saatnya dilakukan evaluasi lebih konstruktif sehingga kelemahan dari penanggulangan terorisme bisa diperbaiki," ujarnya.

Mereduksi Dendam

Terpisah, pengamat terorisme Harits Abu Ulya, menilai Polri harus melakukan evaluasi terhadap pola-pola penegakan hukum yang kerap mengedepankan langkah tegas dan keras atau hard power. Menurutnya, langkah itu justru menimbulkan rasa dendam dan memicu aksi balasan dari kawanan teroris.

"Ketika polisi melakukan penegakan hukum itu banyak menggunakan pendekatan hard power dan itu ada tindakan yang harus jujur diakui excessive dan over acting. Itu yang kemudian mengendapakan marah pada terduga yang makin mengkristal," katanya.
Dia menilai evaluasi ini penting agar kinerja Polri lebih profesional dalam menjalankan amanat undang-undang. Menurutnya, pelaku teror harus ditangkap dan diproses ke pengadilan.

Harits melanjutkan, aparat penegak hukum harus mampu menghindari tindakan-tindakan yang berpotensi melanggar hak asasi manusia dengan mengedepankan langkah-langkah penanganan terorisme yang humanis. Dengan demikian, dia berpendapat, menurutnya, kejahatan terorisme bisa tereduksi

"Kita yakin kekerasan itu adalah anak kandung kekerasan. Tidak akan selesai, kalau hari ini polisi mati lima orang kemudian polisi memburu kawan teroris kemudian banyak yang menjadi korban karena statusnya terduga," ucapnya.

Lebih jauh, Harits juga mengkritisi razia yang dilakukan polisi secara acak di ruang publik setelah insiden bom bunuh diri di Surabaya.

Menurutnya, bila seluruh kelompok terduga pelaku sudah berhasil dipetakan sebagaimana pernyataan Tito, langkah tersebut tidak produktif dan justru memunculkan stigma tertentu pada salah satu kelompok agama, khususnya Islam.

Harits melanjutkan tindakan yang dilakukan aparat kepolisian ini berpotensi melahirkan kebencian dan kemarahan baru di kalangan Muslim.

Dia mengingatkan terorisme muncul akibat reaksi ultranasionalisme. Dengan demikian, katanya, andai terorisme berasal dari kelompok agama tertentu maka agama tersebut hanya digunakan sebagai legitimasi.

"Sekali lagi saya katakan, teroris itu andaikan berangkat dari kelompok agama tertentu itu agama hanya menjadi legitimasi. Teroris itu motifnya bisa ultranasionalisme seperti di Irlandia.

Dia menambahkan Tito juga harus mengevaluasi cara pandang dan berpikir jajarannya dalam menyikapi terorisme, Sehingga tidak menimbulkan masalah di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim.
(ugo/ugo)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER