Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah kembali membahas definisi dalam Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Terorisme) yang tengah menjadi polemik.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Enny Nurbaningsih mengatakan rapat ini melanjutkan pembahasan sebelumnya pada 18 April lalu yang juga membahas soal definisi.
"Soal definisi ini kami sudah bahas pada saat itu, tetapi kemudian terpaksa terhenti karena kami perlu konsolidasi lebih dulu terkait dengan masukan dari DPR mengenai tambahan frasa," kata Enny di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu (23/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam penjelasan umum di draf terakhir RUU Terorisme disebutkan Tindak Pidana Terorisme yang selama ini terjadi di Indonesia digolongkan sebagai kejahatan serius dan/atau kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan, keamanan negara, dan kedaulatan negara serta terhadap berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara [dengan menekankan tujuan politik, motif politik, atau ideologi tertentu dari pelaku tindak pidana] sehingga penanggulangan (pemberantasan) Tindak Pidana Terorisme perlu dilakukan secara luar biasa, terencana, terarah, terpadu, dan berkesinambungan yang meliputi aspek pencegahan dan pemberantasan guna memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penambahan frasa 'tujuan politik, motif politik atau ideologi' di dalam melakukan tindak pidana terorisme untuk membedakan dengan tindak pidana biasa.
Menurut Enny, definisi yang terkait dengam motif dan tujuan itu, telah dirumuskan pemerintah mengacu pada Pasal 6 dan 7 UU Terorisme. Usulan penambahan frasa itu dikhawatirkan mengubah rumusan delik dalam pasal-pasal tersebut
Perubahan rumusan delik akan menyulitkan aparat penegak hukum yang menjadi pelaksana UU karena hal berkaitan dengan penuntutan dalam unsur delik pidananya.
 Ketua Pansus Revisi Undang-Undang Terorisme, Muhammad Syafii (kanan) dan Wakil Ketua Pansus Supiadin Aries (kiri). (CNNIndonesia/Adhi Wicaksono). |
"Kalau kemudian dia tidak memerlukan tuntutan itu tidak ada masalah sebetulnya. Tetapi kalau dituntut harus masuk dalam unsur delik, itu yang repot dalam pembuktiannya. Apa sih unsur tujuan politik, apa unsur tujuan ideologi, ya, kan. Nah, itu agak kesulitan," katanya.
Oleh karena itu rapat kali ini akan membahas usulan frasa itu, termasuk peletakan definisi apakah di dalam penjelasan umum atau batang tubuh. Namun pemerintah diklaim sudah satu suara.
"Kalau kami pemerintah pada tahap awal menghendaki ini ada di dalam penjelasan umum saja," katanya.
Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafii mengatakan definisi tindak pidana terorisme harus dimasukkan dalam batang tubuh. Hal itu berdasarkan ketentuan UU Nomor 22 Tahun 201 mengenai Tata Cara Pembuatan Perundangan-undangan.
"Artinya ketika frasa tentang tujuan poltik atau ancaman kemanan negara atau motif poltik itu dimaknai dimasukan ke dalam penjelasan itu melanggar UU," kata Syafii terpisah.
Sementara itu, anggota Pansus RUU Terorisme Arsul Sani menjelaskan pemerintah dan DPR sudah memiliki alternatif dari polemik penempatan definisi dalam batang tubuh maupun penjelasan umum.
"Ini rumusan-rumusan alternatifnya sudah ada. Tapi kami akan bahas dulu dalam rapat tim perumus pagi ini," kata Arsul.
(wis/sur)