Jakarta, CNN Indonesia -- Keterlibatan perempuan dan anak dalam rentetan teror bom di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5) menunjukkan bahwa ada perubahan pola aksi terorisme.
Meski bukan yang pertama dalam sejarah aksi terorisme, keterlibatan perempuan dinilai sangat efektif.
Dalam acara
Mata Najwa, Episode melawan Terorisme, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme pertama kali dilakukan pada tahun 1991. Seorang perempuan bernama Dhanu melakukan aksi bom bunuh diri yang menewaskan Perdana Menteri India Rajiv Gandhi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Fenomena [Keterlibatan Perempuan] dilakukan Liberation Tigers of Tamil Eelam (LTTE) Tamil Tiger, seorang perempuan bernama Dhanu mengalungkan dan duduk untuk bersimpuh di kaki Rajiv Gandhi dan meledakan bom bunuh diri," kata Tito.
Menurut Tito, cara tersebut kemudian 'dicopy' oleh kelompok teror yang lain.
Tito juga mengatakan keterlibatan perempuan merupakan cara efektif untuk menghindari kejaran polisi.
"Metode untuk mengelak, menghindari deteksi aparat, karena laki-laki mudah untuk sasaran deteksi, perempuan tidak terdeteksi," katanya.
Polisi berjaga saat berlangsung olah TKP di lokasi bom bunuh diri di GPSS Arjuno, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (17/5). (ANTARA FOTO/Zabur Karuru) |
Soal keterlibatan perempuan dan anak aktivis Asian Muslim Action Network (AMAN) Ruby Khalifah berpendapat lain. Menurutnya keikutsertaan perempuan dan anak dalam banyak aksi teror dipengaruhi kondisi di Timur Tengah.
"Dari sisi global, ISIS banyak mengalami kekalahan di banyak tempat, hal ini mengakibatkan mereka kekurangan sumber daya manusia salah satunya," kata Ruby dalam acara diskusi di Tempo Jakarta, Kamis (24/5).
Ruby mengatakan kekurangan sumber daya manusia memaksa ISIS untuk mengajak siapa saja melakukan jihad, termasuk perempuan.
Kekalahan ISIS di Timur Tengah itu pula, yang menurut Ruby, menjadi salah satu alasan banyak teror dilakukan di masing-masing negara.
"Jadi karena alasan itu mereka (perempuan) diberi restu untuk berjihad tanpa pandang gender," kata dia.
Sedangkan, keterlibatan anak dalam aksi teroris, menurut Ruby diduga terjadi karena adanya perubahan perspektif mengenai 'jalan' menuju surga.
Menurut Ruby, selama ini ada pemahaman jihad hanya dilakukan oleh kepala keluarga atau laki-laki. Namun muncul perspektif baru yang memungkinkan masuk 'surga' satu keluarga.
"Logikanya saja kalau bapaknya berjihad ibunya juga ya sudah diajak [saja anak-anak] secara bersama-sama aja. Artinya satu keluarga pergi ke surga dan mereka enggak punya tanggungan," kata dia.
Sementara itu, mantan teroris Nasir Abbas berpendapat perempuan memiliki peran besar untuk mencegah terjadinya aksi terorisme, sebab perempuan dapat menjadi sosok yang paling rasional kepada pria.
Perempuan juga diharapkan agar bisa mengatakan 'tidak' kepada kepala keluarga yang alirannya dianggap berbeda.
"Di sinilah peran Ibu-ibu semua untuk menolak (ajaran). Kalau suaminya dicekokin semua paham dalil dan logika surga serta bidadari, perempuan sedianya masih punya perasaan dalam hati bagaiamana kalau keluargaku jadi korban," tutup Nasir.
(ugo)