KPK Sebut Ancaman Pidana Koruptor di RKUHP Lebih Rendah

Ramadhan Rizki Saputra | CNN Indonesia
Kamis, 31 Mei 2018 22:53 WIB
RKUHP yang sedang dibahas di DPR memuat sejumlah pasal yang dinilai kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi.
Juru bicara KPK Febri Diansyah. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia -- Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah berpendapat Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sedang digodok DPR berdampak pada sanksi pidana yang lebih rendah bagi para koruptor ketimbang yang diatur dalam UU Tindak Pidana Korupsi.

"Sanksi pidana untuk koruptor justru lebih rendah di RKUHP tersebut dibanding UU Tipikor saat ini. Ini sangat mengganggu kerja penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi," kata Febri dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (31/5).

Selain itu, Febri menilai bahwa RKUHP tidak mencantumkan satu pasal pun yang menegaskan KPK sebagai lembaga khusus yang berwenang menangani kasus korupsi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengatakan hal ini sangat berisiko bagi KPK dan lembaga negara lainnya karena dapat kehilangan kewenangan untuk menanangani kejahatan yang berstatus luar biasa.

"Karena lembaga-lembaga khusus termasuk KPK, BNN, Komnas HAM, BNPT, PPATK, dan lain-lain dapat kehilangan kewenangannya menangani kejahatan-kejahatan serius dan luar biasa ini," kata Febri.

Febri juga menyoroti RKUHP yang tak mengatur tentang perlakuan khusus seperti pidana pemberatan sebagaimana yang sudah diatur dalam UU khusus.

Hal ini berdampak pada kejahatan serius dan luar biasa seperti korupsi diperlakukan setara seperti kejahatan lain pada umumnya.

"Apakah saat ini korupsi tidak lagi dilihat sebagai kejahatan yang sangat membahayakan negara dan merugikan rakyat?" ujar Febri.

Febri lantas menilai bahwa pengesahan RKUHP nantinya bakal menjadi kontra produktif dalam semangat memberantas korupsi yang telah menyengsarakan masyarakat.
Ia berharap agar dukungan dari pemerintah dan DPR dapat konsisten mendukung dan menyikapi status kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa seperti aksi terorisme.

"Menempatkan korupsi sebagai kejahatan biasa dengan meletakkannya di KUHP, ancaman pidana yang lebih rendah, dan keringanan hukuman untuk perbuatan-perbuatan percobaan dapat membawa Indonesia berjalan mundur dalam pemberantasan korupsi," kata Febri.

Melihat hal itu, Febri berharap Presiden Joko Widodo berkomitmen menolak pelemahan KPK dengan cara mengeluarkan delik korupsi dalam RKUHP.

Ia mengatakan bahwa langkah yang paling tepat diambil pemerintah dan DPR untuk mendukung langkah pemberantasan korupsi yakni melalui revisi UU Tipikor.

"Ditambah sejumlah aturan lain yang dibutuhkan seperti pembatasan transaksi tunai, perampasan aset dan lain-lain," katanya.

Ketua DPR Bambang Soesatyo berjanji bakal menyelesaikan RKUHP menjadi UU pada ulang tahun kemerdekaan RI 17 Agustus 2018.

Terkait penolakan pasal tindak pidana korupsi (Tipikor) dalam RKUHP, dia meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi tidak perlu khawatir. Sebab lembaga antirasuah itu sudah punya undang-undang tersendiri.

"KPK sudah punya UU, KPK itu kan UU nya Lex spesialis. Jadi apa yang dikhawatirkan begitu," kata dia.
(ugo)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER