KPK Tetap Menolak Korupsi Masuk RKUHP

Antara | CNN Indonesia
Minggu, 03 Jun 2018 19:35 WIB
Ketua KPK Agus Rahardjo menilai jika korupsi masuk RKUHP maka akan menyulitkan penegakan hukum dan menghilangkan sifat kekhususan dalam menanganinya.
Ketua KPK Agus Rahardjo menilai jika korupsi masuk RKUHP maka akan menyulitkan penegakan hukum dan menghilangkan sifat kekhususan dalam menanganinya. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih menyisakan problem menjelang disahkan. Salah satu yang menentang adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menolak undang-undang pemberantasan rasuah masuk ke dalam RKUHP dalam bentuk pidana pokok (core crime).

Keberatan KPK itu sudah disampaikan KPK kepada Presiden Joko Widodo, melalui surat tertanggal 4 Januari 2017. Mereka melampirkan sejumlah alasan supaya Presiden Jokowi urung memasukkan tindak pidana korupsi ke dalam RKUHP.

"Setelah dilakukan kajian lebih mendalam, kami berada pada satu kesimpulan bahwa KPK tidak dapat memenuhi permintaan pemerintah dan DPR mengingat adanya kepentingan bangsa yang lebih besar dan keberpihakan pada kemaslahatan rakyat Indonesia dalam melakukan pemberantasan korupsi," demikian disampaikan Ketua KPK Agus Rahardjo dalam surat yang diperlihatkan di Jakarta, sebagaimana dilansir Antara, Minggu (3/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Agus, tidak semua undang-undang khusus berada di luar KUHP harus diintegrasikan dalam proyek kodifikasi. Apalagi menurut dua karakter kekhususannya terletak pada kebutuhan untuk beradaptasi atau merespon kejahatan yang modusnya terus berkembang, struktur dan jaringannya semakin kompleks dan cepat berubah.


"KPK meyakini, tipikor yang diintegrasikan dalam skema kodifikasi dalam RUU KUHP akan menghilangkan kekhususan yang telah diatur dalam Tipikor dan melebur dalam tindak pidana umum (tipidum)," kata Agus.

Agus membeberkan sepuluh karakter tindak pidana korupsi yang lebih tepat dijerat dengan undang-undang khusus yang terpisah dari RKUHP.

Pertama, menurut Agus, korupsi dirumuskan secara formal dan bukan materiil, sehingga pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan penuntutan pidana terhadap terdakwa dan hanya sebagai faktor meringankan.

Kemudian pengaturan korporasi sebagai subjek hukum turut diatur. Selanjutnya ada hal yang mengatur pembuktian terbalik terbatas atau berimbangan (balanced burden of proof). Kemudian adanya pengaturan ancaman pidana minimum dan maksimum, terdapat pidana mati sebagai unsur pemberatan, adanya pengaturan penyidikan gabungan perkara tipikor yang sulit pembuktiannya di bawah koordinasi Jaksa Agung.


Lalu dalam undang-undang tipikor dicantumkan pengaturan tentang penyidikan ke dalam rahasia bank yang lebih luas diawali dengan pembekuan rekening tersangka/terdakwa dilanjutkan penyitaan.

Kemudian adanya pengaturan peran masyarakat sebagai kontrol sosial dengan disebutkannya perlindungan hukum sebagai saksi pelapor. Di dalam UU Tipikor memuat ketentuan mengenai pegawai negeri yang lebih luas dibanding peraturan lain, dan memuat pidana tambahan yang lebih luas dibanding dalam KUHP.

"Keinginan pemerintah dan DPR melakukan kodifikasi terhadap ketentuan pidanna di luar KUHP disatukan dalam RUU KUHP merujuk pada UU hukum pidana Belanda, tapi apakah pernah pemerintah dan DPR membandingkan kondisi korupsi yang terjadi di Indonesia dengan kondisi korupsi di Belanda? Tentu tidak, korupsi di Belanda tidaklah bersifat masif seperti di Indonesia," kata Agus.

Agus menyatakan Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Belanda adalah 87. sedangkan Indonesia baru 36 dengan rentang 0-100. Dia menyatakan 0 dipersepsikan sangat korup dan 100 sangat bersih.

Apalagi saat ini di dunia setidaknya ada 30 negara yang telah mengatur khusus pembentukan lembaga antikorupsinya dalam konstitusi. Berdasarkan hal itu KPK menyatakan jika korupsi dimasukkan dalam buku II RUU KUHP maka bertentangan dengan politik hukum, perkembangan kondisi serta kebutuhan bangsa dan negara saat ini.


"Memasukkan tipikor dalam kodifikasi akan menghilangkan determinasinya dan juga sifat kekhususannya, karena politik kriminal dan cara-cara khusus yang dibutuhkan untuk menghadapi modus, struktur dan jaringan kejahatan tindak pidana khusus begitu kompleks dan cepat berubah akan tenggelam dalam keumuman kodifikasi KUHP," kata Agus.

Menurut Juru Bicara KPK Febri Diansyah, untuk mencabut rumusan Bab XXXIII mengenai tindak pidana korupsi dalam RUUU KUHP, sehingga tetap berada dalam UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor, tidak sulit.

"Tidak sulit bagi Presiden dan DPR untuk mengeluarkan pasal-pasal tipikor dari RUU KUHP tersebut, selanjutnya dapat dibahas lebih lanjut melalui penyusunan revisi UU No 31 tahun 1999 yang sekarang sedang berlaku," kata Febri.

(ayp/sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER