Jakarta, CNN Indonesia --
Setelah Artidjo Alkostar pensiun sebagai hakim agung pada Mei 2018, sejumlah permohonan Peninjauan Kembali (PK) mulai diajukan oleh terpidana kasus korupsi ke Mahkamah Agung (MA).
Juru Bicara MA Suhadi mengatakan kemungkinan mereka memanfaatkan momentum. Namun, ada sejumlah aspek hukum dalam PK pula yang dianggap tak terpengaruh dengan ketiadaan Artidjo.
"Ya, sebenarnya itu kan tergantung pemohon. Mungkin pemohon membaca momen seperti itu, kita enggak tahu ya," ujar Suhadi kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (5/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah pemohon PK itu di antaranya mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, hingga mantan Menteri Agama Suryadharma Ali.
Menurut Suhadi, pengajuan PK merupakan hak setiap terpidana yang perkaranya sudah inkracht atau berkekuatan hukum tetap.
Baginya, ada banyak hal lain dalam PK yang tak terpengaruh dengan ketiadaan Artidjo. Pertama, PK juga tidak akan menambah jumlah hukuman yang telah dijatuhkan pada terpidana seperti kasasi.
"PK itu secara normatif tidak akan menambah [hukuman] atau merugikan terpidana. Kalau PK kemungkinannya hukuman tetap atau bebas, itu berlaku baik Pak Artidjo pensiun atau tidak," jelas dia.
 Terpidana korupsi Hambalang Anas Urbaningrum, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (31/5). ( CNN Indonesia/Priska Sari Pratiwi) |
Kedua, majelis hakim yang menangani perkara PK pun akan berbeda dengan hakim yang menangani proses kasasi yang pernah diajukan terpidana. Sebab, hakim memang tidak diperbolehkan menangani perkara yang sama dalam tingkatan berbeda.
"Kalau yang dulu pernah diadili Pak Artidjo, ya enggak mungkin PK dipegang Pak Artidjo lagi. Tidak boleh hakim memegang perkara yang sama," ucap Suhadi.
Ketiga, kata dia, MA tak akan membeda-bedakan permohonan kasasi maupun PK yang diajukan terpidana. Pihaknya juga menjamin para hakim agung akan tetap memutus secara adil setiap perkara yang masuk meski Artidjo telah pensiun.
Artidjo dikenal dengan putusan yang tidak bersahabat dengan terpidana koruptor.
Misalnya, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq yang hukumannya diperberat menjadi 18 tahun penjara dari semula 16 tahun dalam kasus suap impor daging sapi.
Selain itu, mantan anggota DPR Angelina Sondakh menjadi 12 tahun penjara dari 4,5 tahun dalam kasus korupsi Hambalang, serta Anas Urbaningrum yang semula vonisnya tujuh tahun diperberat menjadi 14 tahun penjara.
Terkait vonis yang lebih berat, Artidjo mengaku sering memakai pasal yang berbeda dengan putusan pengadilan sebelumnya. Selain itu, tiap kasus juga memiliki karakter masing-masing yang berakibat pada pertimbangan memberatkan maupun meringankan.
"Jadi integritas putusan hakim juga berkorelasi dengan kualitas pertimbangan hukumnya," tutur Artidjo.
Artidjo sendiri sebelumnya meyakini para hakim agung yang masih bertugas di MA akan bekerja lebih baik dalam memutus perkara.
(arh)