Pemerintah Sebut Ancaman Pidana Korupsi di RKUHP Proporsional

Feri Agus | CNN Indonesia
Kamis, 07 Jun 2018 07:29 WIB
Setelah ditelaah, Tim Panja Pemerintah revisi KUHP menemukan sejumlah sanksi yang dianggap tidak proporsional dan rasional. Kini sanksi itu diubah dalam RKUHP.
Anggota Tim Panja Pemerintah dalam revisi KUHP menyatakan ancaman pidana korupsi di RKUHP diatur proporsional dan rasional. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tim Panitia Kerja Pemerintah dalam Rancangan Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengakui ada perubahan ancaman pidana korupsi dalam beleid tersebut. Perubahan besaran ancaman pidana diatur secara proporsional dan rasional.

"Tim kami mempergunakan satu sistem yang kami kembangkan sendiri ketika kami melakukan penelaahan terhadap sanksi-sanski. Kami mendapati sanksi-sanksi itu yang kami anggap tidak rasional dan proposional," kata anggota Tim Panja Pemerintah Harkristuti Harkrisnowo di Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, Rabu (6/6).

Harkristuti menjelaskan perubahan ancaman pidana dalam RKUHP ini merujuk pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengatakan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 terdapat ketidakadilan ancaman pidana bagi pelaku korupsi yang merupakan masyarakat biasa dengan pejabat negara.


Pada Pasal 2 UU Tipikor, kata Harkristuti, seorang masyarakat biasa diancam hukuman minimal empat tahun penjara. Sementara di Pasal 3, penyelenggara negara hukuman minimal hanya satu tahun penjara.

Harkristuti menyatakan akibat ada ketidakadilan itu pihaknya akhirnya menyamakan ancaman hukuman minimal pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor yang kemudian dituangkan dalam RKUHP.

"Pasal 2 dan 3 tadinya empat tahun, kami samakan setiap orang dengan pejabat. Jadi tidak benar ketika ada yang bilang diturunkan," tuturnya.

Mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM itu menyatakan ancaman hukuman mati juga tak pernah dihilangkan. Menurut Harkristuti, hukuman pidana mati masih tetap diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

"Karena kekurangpahaman jadi dianggap kami menghilangkan sanksi pidana mati dalam UU Tipikor. Kami tidak melakukan karena ayat itu tetap berlaku," kata dia.

Harkristuti melanjutkan bahwa pihaknya turut menambah ancaman pidana Pasal 5 pada UU Tipikor menjadi enam tahun penjara dalam RKUHP.

Sementara itu terkait dengan sanksi denda, Harkristuti menyebut terdapat sejumlah perubahan. Ia mengatakan sanksi denda minimal ada yang diturunkan, sementara denda maksimal dinaikkan.

"Karena dalam KUHP tidak ada besaran sanksi denda dalam pasal-pasal. Paling tinggi Rp1 juta paling banyak Rp50 miliar," tuturnya.


Kategori Sanksi pada Pelaku Tipikor

Harkristuti memaparkan pihaknya membuat kategori-kategori dalam pemberian sanksi terhadap pelaku tipikor.

Kategori 1 dendanya Rp1 juta, kategori 2 denda Rp20 juta, kategori 3 denda Rp50 juta, kategori 4 denda Rp150 juta, kategori 5 denda Rp500 juta, kategori 6 denda Rp5 miliar, kategori 7 denda Rp15 miliar, dan kategori 8 denda Rp50 miliar.

Oleh karena itu, Harkristuti menyatakan KPK tak perlu khawatir dengan RKUHP yang nantinya berlaku. Pasalnya, lembaga antirasuah itu tetap bisa menggunakan UU Tipikor dalam menuntut seorang terdakwa korupsi.

"Artinya walaupun ada dalam KUHP tindakan pidana korupsi ini tetap menjadi kewenangan KPK. Jadi ini tampaknya ada overside karena tidak dibaca oleh teman-teman yang mengatakan akan melemahkan KPK," ujarnya.

Sementara itu, Ketua Tim Panja Pemerintah Enny Nurbaningsih mengatakan sanksi tambahan berupa pembayaran uang pengganti tetap berlaku bagi terdakwa korupsi meski RKUHP berlaku. Menurutnya, pembayaran uang pengganti itu masuk dalam delik khusus.

"Soal uang pengganti ini tetap berlaku, termasuk pemufakatan jahat. Memang kalau delik umum ada pengurangan, karena ini delik khusus, kekhususannya tidak akan hilang," kata dia dalam kesempatan yang sama.


Enny meminta KPK untuk tak khawatir dengan RKUHP yang rencananya bakal disahkan pada Agustus 2018 mendatang. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional menjamin kekhususan KPK dalam menangani tindak pidana korupsi tidak akan hilang.

"Kami berharap KPK dateng dong, nih lo ditambahkan lagi, jangan mutung lah, mari sama-sama kita perbaiki. Jadi enggak ada kemudian penyesuaian ini yang kami ambil, mereka harus mengganti semua, enggak ada," tuturnya.

Masuknya soal tipikor dalam draf RKUHP mendapatkan keberatan dari KPK. Ketua KPK Agus Rahardjo pada 3 Juni 2018 menyatakan keberatan pihaknya sudah disampaikan kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) lewat surat bertanggal 4 Januari 2017. Dalam surat itu, kata Agus, mereka melampirkan seejumlah alasan agar Jokowi urung memasukkan tipikor ke dalam draf RKUHP. (kid/pmg)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER