Jakarta, CNN Indonesia -- Pembahasan revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) di DPR masih menuai polemik. Salah satu yang disoroti adalah masuknya sejumlah pasal tindak pidana korupsi yang dianggap melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pemerintah dan DPR pun didesak menarik semua pasal tentang korupsi dari rancangan KUHP melalui petisi #KPKdalamBahaya oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi.
Anggota koalisi Erwin Natosmal khawatir terjadi dualisme penanganan tindak pidana jika pasal tipikor masuk ke RKUHP. Terlebih ada sejumlah aturan yang memiliki ancaman berbeda pada UU Tipikor dengan RKUHP.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada beberapa ketentuan yang membingungkan, akibatnya KPK rentan ketika menangani kasus-kasus korupsi," ujar Erwin kepada
CNNIndonesia.com.Beberapa poin itu di antaranya adalah RKUHP tidak mengatur pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti seperti di UU Tipikor. Kemudian jumlah hukuman denda di RKUHP juga menurun hingga minimal Rp10 juta. Berbeda dengan UU Tipikor yang mengatur denda minimal Rp200 juta.
Masuknya pasal-pasal tipikor juga berpotensi menghilangkan kewenangan Pengadilan Tipikor. Dalam RKUHP menyebut kasus-kasus korupsi akan ditangani melalui peradilan umum. Sementara selama ini dikenal peradilan umum kerap membebaskan terdakwa kasus korupsi.
Pemerintah sebelumnya telah menjamin bahwa kewenangan KPK tak akan hilang karena berlaku
lex specialis atau hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Artinya, KPK maupun peradilan di Indonesia tetap dapat menggunakan UU Tipikor sebagai rujukan untuk menangani kasus korupsi.
Namun peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) ini pesimistis UU Tipikor dapat berlaku sebagaimana mestinya. Sebab, dalam RKUHP juga mengatur bahwa setahun setelah RKUHP itu disahkan maka peraturan di luar KUHP yang lebih khusus harus menyesuaikan dengan beleid tersebut.
"Ada ancaman itu, padahal jelas ada disparitas delik korupsi dalam RKUHP dengan UU Tipikor. Ini tentu merugikan KPK," katanya.
Di sisi lain, lanjut Erwin, terdapat sejumlah pandangan hukum berbeda jika terdapat dua aturan yang bertentangan. Pertama, asas
lex superior yang mengatur bahwa peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah. Kemudian ada pula asas lex posterior yang mengatur jika ada peraturan yang sederajat maka peraturan yang paling baru dapat melumpuhkan peraturan yang lama.
"Akhirnya jadi enggak jelas kan. Bagaimana pemerintah bisa mengatakan KPK tenang saja, jangan percaya gitu saja ke pemerintah," ujarnya.
Ahli hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan mengatakan ada sejumlah aturan yang lebih 'lunak' dalam RKUHP ketimbang UU khusus yang mengatur suatu tindak pidana. Hal ini, menurutnya, didasari keinginan pihak pembuat UU dalam hal ini pemerintah dan DPR, agar sistem pidana di Indonesia diatur dalam satu aturan saja yakni KUHP.
Terlebih ada aturan yang menyebut satu tahun setelah berlakunya KUHP, maka ketentuan di luar itu harus menyesuaikan dengan KUHP.
"Katanya berlaku khusus (
lex specialis) tapi ada pesan semacam itu. Jadi apa jaminannya pemerintah, ya sebenarnya enggak ada," kata Agustinus.
Agustinus menilai hal itu tak lepas dari kepentingan politik dari pihak pembuat UU. Tak menutup kemungkinan aturan itu berubah kembali ketika pemerintahannya berganti. Alasan ini semakin terlihat karena permasalahan soal tipikor baru dibahas beberapa waktu belakangan.
"Baca draf (RKUHP) tahun 2015 itu tidak ada bab tentang Tipikor. Padahal gagasan untuk bangun satu sistem itu sudah dari puluhan tahun lalu, tapi bab tentang Tipikor ini baru muncul. Jadi ada apa?" tuturnya.
Agustinus menegaskan UU Tipikor akan tetap berjalan karena berlaku
lex specialis. Namun hal itu pun, menurutnya, tak menjamin karena ada aturan tentang jangka waktu satu tahun berlakunya KUHP yang harus diikuti.
"Kalau berlaku ya tetap, selama UU itu eksis. Tapi kan ada pesan itu, gimana mau diikuti apa tidak," katanya.
Terlepas dari permasalahan tersebut, kata dia, sejumlah ketentuan dalam KUHP memang perlu direvisi mengingat aturan itu bersumber dari hukum kolonial Belanda yang sudah sangat lama. Menurut Agustinus, pemerintah dan DPR sejak awal mestinya melibatkan masyarakat dalam pembahasan tersebut.
"Kalau ada yang krusial, hendaknya DPR, pemerintah, mau mendengar kritik dari publik. Jangan defensif, toh tuntutan dari masyarakat juga tidak harus selalu diikuti kok," katanya.
Selain tentang tipikor, poin yang harus disoroti salah satunya adalah tentang peradilan pidana anak. Agustinus mengatakan terdapat perbedaan hukuman dalam RKUHP dengan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Dalam RKUHP mengatur bahwa seorang anak yang terlibat tindak pidana dengan ancaman hukuman di bawah lima tahun tak perlu dipenjara. Sementara dalam UU SPPA mengatur bahwa anak yang terlibat tindak pidana baru dapat dipenjara jika ancaman hukuman lebih dari tujuh tahun.
"Gimana ini membingungkan lagi kan. Katanya tetap berlaku khusus (
lex specialis), ya kalau khusus jangan diatur lagi dong," ucap Agustinus.
Ia pun meminta pemerintah maupun DPR tak 'menggampangkan' jika tak setuju dengan aturan dalam KUHP dapat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hal itu menurutnya justru akan memperburuk ketentuan yang selama ini sudah diatur.
"Kalau bisa sudah diketok palu ya sudah. Kalau hakim MK kebabablasan memutuskan, aturan yang sudah aneh, jadi makin aneh lagi," katanya.
(sur)