Jakarta, CNN Indonesia -- Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang memuat larangan mantan narapidana kasus korupsi mendaftar sebagai calon legislatif (caleg) mentok di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Menteri Hukum dan HAM
Yasonna H Laoly menyatakan tak bakal meneken draf aturan tersebut.
Yasonna beralasan dirinya tak bisa menandatangani aturan tersebut lantaran bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
"Jangan dipaksa saya menandatangani sesuatu yang bertentangan dengan UU. Itu saja," kata Yasonna pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alih-alih menandatangani aturan larangan bekas koruptor 'nyaleg', Yasonna justru menyarankan KPU membuat papan pengumuman di Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk menunjukkan caleg eks koruptor.
"Kalau saya sarankan buat saja di papan, kertas suara sebelum (masuk) TPS itu, nanti namanya caleg nomor segini, nomor segini itu napi Tipikor, napi ini. Itu jelas," tuturnya.
Apa yang disampaikan Yasonna itu sama seperti saran Presiden Joko Widodo. Beberapa waktu lalu Jokowi menyampaikan dirinya tak begitu setuju dengan aturan dari KPU itu. Ia kemudian meminta KPU cukup menandai caleg bekas napi kasus korupsi.
Meskipun demikian, pernyataan Yasonna maupun Jokowi itu bertolak belakang dengan pendapat Wakil Presiden Jusuf Kalla. Pria yang karib disapa JK itu justru setuju dengan langkah KPU yang ingin melarang eks napi koruptor menjadi caleg.
JK pun menilai janggal sikap Yasonna yang menolak meneken PKPU soal larangan eks koruptor mendaftar sebagai caleg. Politikus senior Golkar itu mengaku akan langsung bertanya kepada Yasonna mengenai keputusannya yang enggan menandatangani PKPU tersebut.
"Ya, memang agak janggal. Kita kan ingin legislatif itu orang yang betul-betul bersih. Kalau residivis masuk ke situ, kan, enggak enak juga," ujar JK.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan sudah seharusnya Yasonna meneken aturan yang dibuat KPU untuk melarang napi kasus korupsi mengikuti pesta demokrasi lima tahun itu.
"Menurut saya pak Menteri Yasonna jangan kemudian juga atas desakan-desakan dari pihak-pihak tertentu (tidak mau menandatangani)," kata Fadli kepada
CNNIndonesia.com, Senin (11/6).
"Nah bolanya justru yang ada di Kumham (Kementerian Hukum dan HAM). Kumham yang kemudian harus segera menyelesaikan kewajibannya untuk mengundangkan itu," tuturnya.
Fadli menilai Yasonna dan jajarannya tak memiliki kewenangan untuk menolak meneken PKPU tentang larangan eks koruptor mendaftar sebagai caleg pada Pemilu 2019. Menurutnya, keengganan Yasonna meneken aturan itu justru akan menimbulkan ketidakpastian bagi KPU maupun partai politik.
Fadli khawatir polemik tersebut bakal mengganggu proses pendaftaran caleg yang akan mulai dibuka pada pertengahan Juli 2018.
"Menurut saya problemnya akan jadi berlarut-larut, karena orang yang merasa dirugikan nanti dengan materi itu, lama juga mendapat kepastian hukum, apakah ini jadi diatur atau tidak," tuturnya.
Fadli mengatakan Yasonna dan jajarannya tak perlu khawatir bila harus meneken PKPU tersebut. Menurutnya, bila nantinya ada yang menggugat aturan itu ke Mahkamah Agung (MA), KPU sebagai penyusun aturan itu yang bakal menjelaskan.
"Kumham (Kementerian Hukum dan HAM) karena kewajiban administratifnya mengundangkan, ya diundangkan saja. Toh nanti kalau pun akan digugat, KPU yang akan mempertangungjawabkan," kata dia.
Fadli menduga berlarutnya pengesahan PKPU lantaran ada partai politik yang ingin mencalonkan napi kasus korupsi pada Pemilu 2019 mendatang. Ia meminta semua pihak agar menghormati aturan baru yang dibuat KPU tersebut.
Menurutnya, aturan baru ini justru bakal membantu partai politik yang akan mengusung caleg pada pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Calon-calon yang nantinya diusung partai politik merupakan orang-orang yang bersih, baik dari kasus korupsi, narkotika maupun kejahatan seksual anak.
Ratusan Legislator Jadi PesakitanPembuatan aturan larangan mantan koruptor mendaftar sebagai caleg disinyalir berkaca dari anggota DPR maupun DPRD yang telah dijerat penegak hukum. Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), setidaknya 195 anggota DPR dan DPRD telah diproses lembaga antirasuah tersebut.
"Sampai dengan Mei 2018, terdiri dari, 73 anggota DPR dan 122 anggota DPRD," kata Febri kepada
CNNIndonesia.com.
Febri mengatakan sejak awal pihaknya mendukung KPU yang ingin membuat aturan tentang larangan napi koruptor daftar sebagai caleg pada Pemilu 2019.
"Secara substansi KPK mendukung pembatasan-pembatasan terhadap terpidana korupsi untuk menjadi pejabat publik," tuturnya.
(osc/gil)